Menanti SBI/RSBI Dibubarkan...?
Seperti biasanya setiap PPDB (Penerimaan
Peserta Didik Baru) akan menjadi sorotan publik.
Selain spirit PPDB,
ada kontroversi lain yang lagi menghangat dalam dunia pendidikan saat ini,
yakni eksistensi (R)SBI. Perdebatan eksistensi (R)SBI menjadi lebih meluas
menjelang PPDB. Bahkan masyarakat memiliki istilah sendiri dengan (R)SBI,
sebagai bentuk ikut “peduli” pada pendidikan.
Ada istilah
plesetan yang berkembang di masyarakat entah dari mana datangnya. (R)SBI
diartikan sebagai RINTISAN SEKOLAH
BERTARIF INTERNASIONAL. (R)SBI adalah RANCANGAN SEKOLAH BANYAK IURAN. RSBI
adalah REALISASI SEKOLAH BERBUDAYA IURAN dll.
Ini mungkin sebuah
ungkapan publik yang melihat (R)SBI lebih menonjol biayanya daripada
prestasinya. Seandainya (R)SBI mampu memperlihatkan loncatan prestasi, mungkin
masyarakat tidak akan melecehkan.
Menurut Lody Paat
dari Koalisi Masyarakat Anti Komersialisasi Pendidikan (KMAKP), (R)SBI harus
dibubarkan karena sama sekali tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu
pendidikan itu sendiri. “Kami telah menghadirkan ahlinya dari para saksi ahli.
Bahasa halusnya, kami berharap RSBI dibatalkan oleh MK,” (Kompas.com,16/5/2012)
Bubar dan tidaknya
(R)SBI sedang menunggu keputusan MK. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Mohammad Nuh berjanji siap menghormati apa pun keputusan Mahkamah
Konstitusi tentang rintisan sekolah bertaraf internasional.
“Saya menghormati
masyarakat yang mengajukan (judicial review)uji materi (R)SBI ke MK. Apa pun
putusan MK akan kita taati bersama,” kompas.com. Inilah pemerintahan di
Indonesia dunia pendidikan saja gonjang-ganjing. Kasihan para siswa, guru dan
masyarakat yang sudah terlanjur merasa bangga dengan RSBI-nya.
Benarkah (R)SBI yang
merupakan kebanggaan pemerintah__ harus dihentikan? Benarkah sekolah (R)SBI
terutama di Jawa Barat prestasinya tidak signifikan, kalah sama sekolah-sekolah
reguler?
Benarkah RSBI
banyak menghamburkan/memboroskan uang negara? Benarkah (R)SBI paling banyak
menyerap dana masyarakat? Benarkah RSBI menyebabkan kastalisasi pendidikan?
Benarkah (R)SBI
identik dengan sekolah orang berduit? Benarkah tenaga pendidik di sekolah
(R)SBI mayoritas belum siap? Benarkah RSBI merupakan politik pencitraan di
dunia pendidikan?
Memang banyak
tuntutan dari masyarakat agar (R)SBI ditinjau ulang/dibubarkan.
Sepeti pernyataan
sesepuh pendidikan nasional yang sempat menjabat menteri pendidikan diawal Orde Baru, Daud Jusuf memberi keterangan
sebagai ahli di sidang pro kontra sekolah berstandar internasional di Mahkamah
Konstitusi.
Menurutnya, sekolah
berlabel internasional harus dihentikan secepatnya karena tidak sesuai Sumpah
Pemuda dan bertentangan dengan konstitusi.
Selanjutnya ia
mengatakan “Saya menuntut supaya pemerintah secepatnya membubarkan,
meniadakan keberadaan kedua lembaga pendidikan itu (R)SBI) dari bumi
Indonesia yang merdeka dan berdaulat,”
Anggota Tim
Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan, Andi Muttaqien menyatakan “Setelah melalui delapan kali persidangan,
kami menyimpulkan keberadaan (R)SBI berdasarkan pasal 50 ayat (3) tersebut
merupakan bentuk kesalahan dan kekeliruan pemerintah dalam menjabarkan makna
amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” Secara
norma dan implementasi, (R)SBI memang bermasalah dan harus dihapuskan karena
telah mengakibatkan kerugian konstitusional bagi para pemohon dan banyak warga
negara Indonesia.
Keberadaan (R)SBI
yang mendasarkan seleksi pada intelektual dan keuangan calon peserta didik,
adalah bentuk tindakan penggolongan atau pembedaan perlakuan terhadap sesama
warga negara berdasarkan status sosial dan status ekonomi.
“Sehingga
keberadaan (R)SBI merupakan bentuk kebijakan diskriminatif dari negara yang
dilegalkan melalui UU,”
Sejumlah pertanyaan
kritis berjibun seputar kontroversi (R)SBI. Wah, sebuah analisa tentang (R)SBI
nampaknya layak kita ketengahkan. Mari kita lihat analisa dari berbagai tokoh
kompeten dalam pendidikan.
Pendapat para
pemerhati pendidikan setidaknya lebih memberikan wawasan pada kita untuk
memahami RSBI yang sebenarnya. Pantaskah RSBI dilanjutkan atau harus segera
dihentikan?
Dalam konferensi
kerja nasional Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Bandung, PGRI mendesak pemerintah menindaklanjuti
hasil evaluasi penyelenggaraan rintisan sekolah bertaraf internasional
(RSBI/SBI) yang dinilai gagal.
Ketua Pengurus
Besar PGRI Sulistiyo, mengatakan “Kebijakan soal RSBI ini menimbulkan
diskriminasi dalam pelayanan pendidikan dan biaya pendidikan,”
Gagasan pemerhati
pendidikan Universitas Indonesia, Darmaningtyas agar sekolah model baru itu
dihentikan memiliki logika yang masuk akal. Menurut dia sekolah (R)SBI ibarat
sekolah-sekolah bikinan kolonial Belanda pada awal abad ke-20 sebagai
perwujudan politik etis dan kebijakan liberal.
Sekolah itu identik
dengan HBS atau HIS yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Bahkan Ia
menyebutkan sekolah RSBI tidak Pancasilais.
Guru Besar Emeritus
Universitas Negeri Jakarta (UUD) HAR Tilaar sepakat menyatakan sekolah bertaraf
internasional (SBI) atau saat ini berstatus rintisan (RSBI) bertentangan
dengan UUD 1945.
Sekretaris Jenderal
FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) Retno Listyarti mengatakan sekolah RSBI
kesulitan memenuhi kuota 20 persen jatah kursi sekolah dialokasikan bagi siswa
miskin yang diamanatkan undang-undang. SMAN 3 Solo, SMAN 1 Bantul dan SMPN 2
Semarang sebagai contoh (R)SBI yang kekurangan kuota siswa miskin.
Menurut Retno,
siswa miskin yang masuk (R)SBI akan menghadapi persoalan lain. Lingkungan
sosial sekolah RSBI dinilai tak
bersahabat bagi siswa miskin. Lingkungan dan pola pergaulan sekolah (R)SBI
cenderung didominasi oleh siswa kaya. Mulai dari cara komunikasi, pengetahuan,
ekspresi, serta gaya. “Siswa miskin akan mengalami tekanan psikososial.
Menurut Dra. Tuti Budi Rahayu, MA, pakar pendidikan
asal Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, “RSBI bukan sesuatu yang
ekselen. RSBI tidak efektif. Saya setuju tidak perlu harus ada RSBI segala.
Apalagi, harus ada peringkat untuk mengukur kualitas pendidikan. Saya sangat
tidak setuju dengan RSBI dan peringkat dalam standarisasi pendidikan.”
Ketua Umum Ikatan
Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma dalam Petisi Pendidikan tentang Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) yang dinilai sebagai program gagal.
Petisi itu
dipaparkan Ketua Umum IGI Satria Dharma di depan Komisi X DPR RI, untuk
mendesak Komisi X segera menghentikan sementara seluruh program SBI. Satria
Dharma Ali mengatakan “Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya
dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan.”
Menurut Satria
Dharma Ali ada sepuluh alasan mengapa (R)SBI harus dihentikan. Kelemahan pertama, program (R)SBI jelas tidak
didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk. “Bisa dibuktikan,
bahwa tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam dalam
SBI,” tegas Satria.
Kedua, SBI adalah program yang salah model.
Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan untuk SBI baru (news developed),
tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolah-sekolah yang telah ada (existing
school).
Ketiga, program (R)SBI telah salah asumsi.
Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam
pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki TOEFL> 500.
“Padahal, tidak ada
hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam
bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogis,” paparnya.
Kelemahan keempat pada (R)SBI adalah telah
terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik.
Menurutnya, guru tidak mungkin disulap agar bisa mengajarkan materinya dalam
bahasa Inggris.
Akibatnya, banyak
siswa (R)SBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena mereka tidak
memahami materi bidang studinya. “Itulah fakta keras yang menunjukkan bahwa
program (R)SBI ini telah menghancurkan best practice dan menurunkan mutu
sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah (R)SBI,”
Kelemahan kelima dari SBI adalah penggunaan
bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan label (R)SBI, materi
pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di seluruh dunia
seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi
siswanya tetap berkualitas dunia. Keenam,
SBI dinilai telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
Sementara itu, kelemahan ketujuh
menegaskan, bahwa (R)SBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi
sangat komersial.
Kedelapan, (R)SBI telah menyebabkan penyesatan
pembelajaran. Penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti
laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah karena tanpa itu semua sebuah
sekolah tidak berkelas dunia. Satria Dharma Ali mengatakan, “Program ini lebih
mementingkan alat ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih ke masalah
proses ketimbang alat.”
Kelemahan kesembilan, (R)SBI telah menyesatkan
tujuan pendidikan. Kesalahan konseptual (R)SBI terutama pada penekanannya
terhadap segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala hal yang
nonakademik. “Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa sebagai
seorang yang cerdas akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan mendidik
manusia seutuhnya, termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni, budaya,
dan olahraga.”
Kelemahan terakhir, (R)SBI adalah sebuah
pembohongan publik. (R)SBI telah memberikan persepsi yang keliru kepada orang
tua, siswa, dan masyarakat karena (R)SBI dianggap sebagai sekolah yang “akan”
menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya.
Padahal,
kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan menghancurkan
kualitas sekolah yang ada.
Menurut para pakar
di atas betapa banyak kelemahan (R)SBI, sehinga mereka merekomendasi (R)SBI
segera dihentikan.
Menurut penulis pendapat mereka sah-sah saja sebagai warga
negara Indonesia yang konsen pada dunia pendidikan.
Masalahnya maukah
pemerintah dengan proyek dan “harga dirinya” menghentikan (R)SBI.
Nampaknya tidak
mudah, bahkan guru dan siswa (R)SBI belum tentu mau, mereka korban dari
kebijakan pemerintah.
Kasihan sekolah
yang berlabel (R)SBI, mereka dituntut untuk lebih unggul dari sekolah reguler
SSN, plus dituntut oleh masyarakat tentang keberadaannya.
Posisi sekolah (R)SBI jadi serba salah. Maju kena,
mundur kena.
Perlindungan sementara hanya di Undang-undang Sisdiknas pasal 50 ayat 3 tahun
2003 sebagai dasar pembentukan RSBI.
Sementara
undang-undang ini menurut pihak yang kontra RSBI dianggap sebagai undang-undang
yang bermasalah.
Penolakan terhadap
program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) terus meluas. Setelah
beberapa lembaga seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI), Indonesia Corruption
Watch (ICW) dan Aliansi Orangtua Murid Penduli Pendidikan (APPI), Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI). Ini sebuah dinamika, hasilnya tergantung MK dan
pemerintah bagaimana nasib RSBI kemudian. Semoga ada keputusan, solusi dan
alternatif terbaik bagi pendidikan Indonesia.
Pendidikan adalah
modal dasar pembangunan SDM, pengelolaan pendidikan yang tepat sesuai filosofi
dan kepribadian bangsa serta terbuka terhadap perubahan akan lebih baik.
Dibanding pendidikan
yang dikelola berdasarkan paradigma proyek dan latah terhadap budaya luar yang
belum tentu lebih baik. Berkiblat pada kepribadian bangsa sendiri lebih baik
daripada berkiblat pada kepribadian bangsa lain.
(Penulis Drs Ec
Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU)
klik gambar>>>baca model TABLOID