Dalam
tulian ini penulis enggan menyoroti apa yang terjadi didaerah, namun secara
global yang terjadi di dunia saat ini.
Menurut penulis yang lahir di
Sitimulyo Cepu kabupaten Blora, ada 3 hubungan yang erat dalam dunia olah raga.
Yakni:
PERTAMA
: Olahraga dengan Politik
Ketika
pada Piala Dunia 1990 Maradona diangkat oleh Presiden Menem sebagai duta resmi
Argentina, maka sang legenda sepak bola Argentina itu menjadi symbol konkret
identifikasi antara olahraga dan politik.
Pertalian erat antara olahraga
dan politik bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, bukan hanya dengan
politik. Sebab olahraga memiliki multimakna; sosial, ekonomi, politik atau
ideologi, dan kesehatan.
Diktator Adolf Hitler juga pernah
memanfaatkan Federasi Sepak Bola (DFB) untuk propaganda politik Nazi.
Dia mengatakan, ”Orang besar adalah
pelari marathon sejarah”. Diktator lainnya, Bennito Mussolini, merasa penting
dirinya ditampilkan dalam pose-pose olahraga, seperti sedang bermain anggar,
tenis, atau naik kuda.
Sebab, menyitir I Bambang Sugiarto
(2000), bagi Mussolini, seorang politikus sejati haruslah serentak merupakan
simbol kejantanan sportif. Sedangkan bagi kaum sosialis, olahraga adalah
manifestasi penting semangat ideal kolektivisme yang rasional dan higienis.
Jadi, dari pertalian antara olahraga
dan politik atau ideologi, sudah tampak betapa olahraga dalam peradaban modern,
bukan lagi sekadar kegiatan yang netral, melainkan kental sekali kandungan
multimakna itu.
Tulisan ini memfokuskan diri pada
sepakbola,
dengan lebih menitikberatkan pada politik, terutama politik demokratik.
Artinya, sepakbola bukan sekadar
olahraga, melainkan telah lama menjadi alat politik sekaligus inspirasi dan
pembelajaran dalam berpolitik.
Dengan kata lain, sepakbola dalam
perkembangannya bukan hanya sebagai alat politik atau legitimasi politik
kekuasaan –seperti diktator Franco di Spanyol yang konon pernah memanfaatkan klub
sepak bola Real Madrid sebagai alat legitimasi kekuasaannya.
Mussolini pada Piala Dunia 1934 yang
memaksakan Piala Dunia harus dilaksanakan di Italia dan klubnya harus ‘menang
atau mati, atau seperti Hitler di atas– tetapi juga sebagai media pembelajaran
politik demokratik, terutama yang bertalian dengan politisi dan konstituennya.
Sepakbola dan demokrasi, Bila
dilihat lebih dalam, sepakbola memang mengajarkan banyak hal tentang politik,
strategi memenangkan pertarungan politik, dan keterlibatan publik di dalamnya,
atau yang biasa disebut demokrasi.
Dalam demokrasi, yang didahulukan
adalah kepentingan umum atau kepentingan bersama, kemudian barulah kepentingan
pribadi atau kelompok. Tujuan utama demokrasi adalah menciptakan ruang bagi
terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Demikian juga dalam sepakbola,
sebagai sebuah permainan tim. Dalam sepakbola, yang diutamakan adalah
kebersamaan sebagai sebuah tim, setelah itu pribadi.
Pertandingan sepakbola antar bangsa,
misalnya, yang didahulukan adalah kepentingan dan kehormatan bangsa dan negara,
kemudian baru kepentingan pribadi atau klub.
Apabila dalam politik, partai
politik adalah arena atau lapangan politik milik rakyat dalam membangun
demokrasi, maka dalam sepakbola, lapangan hijau menjadi “lapangan politik”
milik rakyat untuk membangun kepentingan bersama.
Dalam hal ini, sepakbola dapat
mengajarkan bagaimana seharusnya sebuah pementasan arena politik partai dan
para pendukungnya dalam menjalankan tugas politiknya, yakni fair play.
KEDUA:
Olahraga dengan Ekonomi
Hingga saat ini, tampaknya masih ada
opini yang mengatakan bahwa kegiatan olahraga cenderung menghambur-hamburkan
uang.
Bahkan ada analisis yang tendensius,
daripada untuk kegiatan olahraga yang jutaan bahkan milyaran rupiah lebih baik
digunakan untuk mengentaskan kemiskinan rakyat yang masih sekitar 140 juta.
Pendapat dan analisis yang demikian
tentu sah-sah saja. Tetapi benarkah olahraga hanya menghabiskan uang ? Tidakkah
ada revenue yang bisa diharapkan dari kegiatan olahraga ?
Mungkinkah terjadi multiplier effect
dari sebuah kegiatan olahraga? Pertanyaan seperti itu memang agak sulit dijawab
secara pasti, jika saja tidak ada bukti-bukti yang mendukungnya.
Bahwa untuk melakukan pembinaan
olahraga membutuhkan dana yang tidak sedikit saya kira adalah fakta yang tidak
bisa dipungkiri.
Ketika suatu negara atau daerah
menyelenggarakan sebuah event olahraga, mungkin sekali banyak dana yang
digunakan untuk membiayainya.
Tetapi sangat boleh jadi kegiatan
olahraga juga mampu mendorong tumbuhnya ekonomi, dan bahkan mendatangkan
keuntungan langsung seperti Olympiade Los Angeles 1984, yang nyata nyata
panitia mendapat keuntungan sebesar $ 223 juta dolar.
Olympiade Los Angeles merupakan
olympiade pertama yang menerapkan pendekatan logika ekonomi melalui sport
business. Pernyataan tersebut memberikan bukti bahwa olahraga apabila dikelola
secara profesional dapat mendatangkan keuntungan ekonomi disamping nonekonomi.
Itulah sebabnya mengapa banyak
negara yang berebut untuk menjadi tuan rumah suatu event olahraga seperti Asian
Games, Olympic Games, Piala Dunia ( sepakbola) dan Piala Eropa.
Oleh karena itu, saya ingin melihat
hubungan olahraga dan ekonomi sebagai hubungan yang bersifat resiprokal.
Artinya, olahraga mempengaruhi ekonomi dan ekonomi mempengaruhi olahraga.
Dalam banyak kasus memang kita
jumpai bahwa negara yang secara ekonomi maju, maka perkembangan olahraganya
juga mengalami kemajuan yang sangat berarti.
Lihatlah bagiamana perkembangan
olahraga di Amerika, Australia, Perancis, Inggris, Jepang, dan sebagainya yang
telah berkembang begitu pesat. Dari segi prestasi, terutama dalam Olympic Games
, sejumlah negara tersebut telah menempatkan dirinya di papan atas.
Dari segi perspektif tingkat
kesehatan masyarakat yang diukur dari angka kematian bayi, angka harapan hidup,
dan sebagainya, negara-negara maju juga lebih unggul.
Sungguhpun demikian, tidak berarti
prestasi tinggi hanya terjadi pada negara-negara yang secara ekonomi lebih
maju. Brasil secara ekonomi barangkali jauh di bawah negara-negara maju seperti
Perancis, Jerman, dan Italia.
Ditinjau dari GDP per capita, Brasil
hanya US$ 7,037, sementara ketiga negara tersebut masing-masing adalah US$
22,897, US$ 23,742, dan US$ 22,172.
Sebuah perbedaan yang sangat
signifikan, karena lebih dari tiga kali lipat. Akan tetapi, Brasil memiliki
tradisi prestasi sepakbola yang lebih tinggi dibandingkan ketiga negara
tersebut.
Apa yang ingin saya katakan disini
adalah bahwa untuk membangun olahraga tidak harus menunggu negara kita maju
atau secara ekonomi sejajar dengan negara-negara maju.
Justru yang perlu di dorong adalah
bagaimana olahraga dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk membangun
ekonomi.
Beberapa hasil riset menunjukkan
bahwa tingginya partisipasi masyarakat dalam olahraga, ternyata tidak hanya
mengurangi anggaran kesehatan yang dikeluarkan pemerintah, tetapi pada sisi
yang lain juga meningkatkan produktivitas.
Peningkatan partisipasi dalam
olahraga hingga 25 % (angka semula 33% dari penduduk yang secara reguler
melakukan olahraga) dapat mengurangi biaya kesehatan sekitar $ 778 juta dolar
atau sekitar 6,6 trilyun rupia. Selain itu juga menstimulasi produktivitas 1-3
% , dari setiap 2-5 $ dolar yang diinvestasikan.
Sementara anggaran yang digunakan
untuk menstimulasi kegiatan olahraga tersebut hanya $ 191 juta dolar atau
sekitar 1,6 trilyun rupiah (B.Kidd,World Summit on Physical Education,1999).
Data di Inggris menyebutkan bahwa
kegiatan olahraga menyediakan lebih banyak lapangan kerja dibanding industri
mobil, pertanian, nelayan, dan industri makanan.
KETIGA:
Olahraga dengan Hiburan
Dalam memahami arti pendidikan
jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan antara bermain (play) dan
olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering
digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari.
Pemahaman tersebut akan membantu
para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani
secara lebih konseptual.
Bermain pada intinya adalah
aktivitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai
hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak
harus selalu bersifat fisik.
Bermain bukanlah berarti olahraga
dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam
keduanya.
Olahraga di pihak lain adalah suatu
bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli
memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi,
yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani.
Akan tetapi, pengujian yang lebih
cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas
kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga
sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa
aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu,
sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat.
Peraturan, misalnya, baik tertulis
maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan
aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung,
kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga
adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa
memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi
semata-mata bermain atau rekreasi.
Bermain, karenanya pada satu saat
menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata
bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya. Sehingga
sebuah kompetisi olah raga di maju seperti Inggris, Italy, Spanyol misalnya
sepakbola dapat dijadikan hiburan tersendiri bagi masyarakatnya. (Penulis
: Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU - diolah dari
berbagai sumber)
klik gambar>>baca Model TABLOID