Minggu, 30 September 2012

Opini Redaksi - INFOKU 38


Olahraga, Politik, Ekonomi dan Hiburan
Dalam tulian ini penulis enggan menyoroti apa yang terjadi didaerah, namun secara global yang terjadi di dunia saat ini.
Menurut penulis yang lahir di Sitimulyo Cepu kabupaten Blora, ada 3 hubungan yang erat dalam dunia olah raga. Yakni:
PERTAMA : Olahraga dengan Politik
Ketika pada Piala Dunia 1990 Maradona diangkat oleh Presiden Menem sebagai duta resmi Argentina, maka sang legenda sepak bola Argentina itu menjadi symbol konkret identifikasi antara olahraga dan politik.
Pertalian erat antara  olahraga dan politik bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, bukan hanya dengan  politik. Sebab olahraga memiliki multimakna; sosial, ekonomi, politik atau ideologi, dan kesehatan.
Diktator Adolf Hitler juga pernah memanfaatkan Federasi Sepak Bola (DFB) untuk  propaganda politik Nazi.
Dia mengatakan, ”Orang besar adalah pelari marathon sejarah”. Diktator lainnya, Bennito Mussolini, merasa penting dirinya ditampilkan dalam pose-pose olahraga, seperti sedang bermain anggar, tenis, atau naik kuda.
Sebab, menyitir I Bambang Sugiarto (2000), bagi Mussolini, seorang politikus sejati haruslah serentak merupakan simbol kejantanan sportif. Sedangkan bagi kaum sosialis, olahraga adalah manifestasi penting semangat ideal kolektivisme yang rasional dan higienis.
Jadi, dari pertalian antara olahraga dan politik atau ideologi, sudah tampak betapa olahraga dalam peradaban modern, bukan lagi sekadar kegiatan yang netral, melainkan kental sekali kandungan multimakna itu.
Tulisan ini memfokuskan diri pada sepakbola, dengan lebih menitikberatkan pada politik, terutama politik demokratik.
Artinya, sepakbola bukan sekadar olahraga, melainkan telah lama menjadi alat politik sekaligus inspirasi dan pembelajaran dalam berpolitik.
Dengan kata lain, sepakbola dalam perkembangannya bukan hanya sebagai alat politik atau legitimasi politik kekuasaan –seperti diktator Franco di Spanyol yang konon pernah memanfaatkan klub sepak bola Real Madrid sebagai alat legitimasi kekuasaannya.
Mussolini pada Piala Dunia 1934 yang memaksakan Piala Dunia harus dilaksanakan di Italia dan klubnya harus ‘menang atau mati, atau seperti Hitler di atas– tetapi juga sebagai media pembelajaran politik demokratik, terutama yang bertalian dengan politisi dan konstituennya.
Sepakbola dan demokrasi, Bila dilihat lebih dalam, sepakbola memang mengajarkan banyak hal tentang politik, strategi memenangkan pertarungan politik, dan keterlibatan publik di dalamnya, atau yang biasa disebut demokrasi.
Dalam demokrasi, yang didahulukan adalah kepentingan umum atau kepentingan bersama, kemudian barulah kepentingan pribadi atau kelompok. Tujuan utama demokrasi adalah menciptakan ruang bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Demikian juga dalam sepakbola, sebagai sebuah permainan tim. Dalam sepakbola, yang diutamakan adalah kebersamaan sebagai sebuah tim, setelah itu pribadi.
Pertandingan sepakbola antar bangsa, misalnya, yang didahulukan adalah kepentingan dan kehormatan bangsa dan negara, kemudian baru kepentingan pribadi atau klub.
Apabila dalam politik, partai politik adalah arena atau lapangan politik milik rakyat dalam membangun demokrasi, maka dalam sepakbola, lapangan hijau menjadi “lapangan politik” milik rakyat untuk membangun kepentingan bersama.
Dalam hal ini, sepakbola dapat mengajarkan bagaimana seharusnya sebuah pementasan arena politik partai dan para pendukungnya dalam menjalankan tugas politiknya, yakni fair play.
KEDUA: Olahraga dengan Ekonomi
Hingga saat ini, tampaknya masih ada opini yang mengatakan bahwa kegiatan olahraga cenderung menghambur-hamburkan uang.
Bahkan ada analisis yang tendensius, daripada untuk kegiatan olahraga yang jutaan bahkan milyaran rupiah lebih baik digunakan untuk mengentaskan kemiskinan rakyat yang masih sekitar 140 juta.
Pendapat dan analisis yang demikian tentu sah-sah saja. Tetapi benarkah olahraga hanya menghabiskan uang ? Tidakkah ada revenue yang bisa diharapkan dari kegiatan olahraga ?
Mungkinkah terjadi multiplier effect dari sebuah kegiatan olahraga? Pertanyaan seperti itu memang agak sulit dijawab secara pasti, jika saja tidak ada bukti-bukti yang mendukungnya.
Bahwa untuk melakukan pembinaan olahraga membutuhkan dana yang tidak sedikit saya kira adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Ketika suatu negara atau daerah menyelenggarakan sebuah event olahraga, mungkin sekali banyak dana yang digunakan untuk membiayainya.
Tetapi sangat boleh jadi kegiatan olahraga juga mampu mendorong tumbuhnya ekonomi, dan bahkan mendatangkan keuntungan langsung seperti Olympiade Los Angeles 1984, yang nyata nyata panitia mendapat keuntungan sebesar $ 223 juta dolar.
Olympiade Los Angeles merupakan olympiade pertama yang menerapkan pendekatan logika ekonomi melalui sport business. Pernyataan tersebut memberikan bukti bahwa olahraga apabila dikelola secara profesional dapat mendatangkan keuntungan ekonomi disamping nonekonomi.
Itulah sebabnya mengapa banyak negara yang berebut untuk menjadi tuan rumah suatu event olahraga seperti Asian Games, Olympic Games, Piala Dunia ( sepakbola) dan Piala Eropa.
Oleh karena itu, saya ingin melihat hubungan olahraga dan ekonomi sebagai hubungan yang bersifat resiprokal. Artinya, olahraga mempengaruhi ekonomi dan ekonomi mempengaruhi olahraga.
Dalam banyak kasus memang kita jumpai bahwa negara yang secara ekonomi maju, maka perkembangan olahraganya juga mengalami kemajuan yang sangat berarti.
Lihatlah bagiamana perkembangan olahraga di Amerika, Australia, Perancis, Inggris, Jepang, dan sebagainya yang telah berkembang begitu pesat. Dari segi prestasi, terutama dalam Olympic Games , sejumlah negara tersebut telah menempatkan dirinya di papan atas.
Dari segi perspektif tingkat kesehatan masyarakat yang diukur dari angka kematian bayi, angka harapan hidup, dan sebagainya, negara-negara maju juga lebih unggul.
Sungguhpun demikian, tidak berarti prestasi tinggi hanya terjadi pada negara-negara yang secara ekonomi lebih maju. Brasil secara ekonomi barangkali jauh di bawah negara-negara maju seperti Perancis, Jerman, dan Italia.
Ditinjau dari GDP per capita, Brasil hanya US$ 7,037, sementara ketiga negara tersebut masing-masing adalah US$ 22,897, US$ 23,742, dan US$ 22,172.
Sebuah perbedaan yang sangat signifikan, karena lebih dari tiga kali lipat. Akan tetapi, Brasil memiliki tradisi prestasi sepakbola yang lebih tinggi dibandingkan ketiga negara tersebut.
Apa yang ingin saya katakan disini adalah bahwa untuk membangun olahraga tidak harus menunggu negara kita maju atau secara ekonomi sejajar dengan negara-negara maju.
Justru yang perlu di dorong adalah bagaimana olahraga dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk membangun ekonomi.
Beberapa hasil riset menunjukkan bahwa tingginya partisipasi masyarakat dalam olahraga, ternyata tidak hanya mengurangi anggaran kesehatan yang dikeluarkan pemerintah, tetapi pada sisi yang lain juga meningkatkan produktivitas.
Peningkatan partisipasi dalam olahraga hingga 25 % (angka semula 33% dari penduduk yang secara reguler melakukan olahraga) dapat mengurangi biaya kesehatan sekitar $ 778 juta dolar atau sekitar 6,6 trilyun rupia. Selain itu juga menstimulasi produktivitas 1-3 % , dari setiap 2-5 $ dolar yang diinvestasikan.
Sementara anggaran yang digunakan untuk menstimulasi kegiatan olahraga tersebut hanya $ 191 juta dolar atau sekitar 1,6 trilyun rupiah (B.Kidd,World Summit on Physical Education,1999).
Data di Inggris menyebutkan bahwa kegiatan olahraga menyediakan lebih banyak lapangan kerja dibanding industri mobil, pertanian, nelayan, dan industri makanan.
KETIGA: Olahraga dengan Hiburan
Dalam memahami arti pendidikan jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan antara bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari.
Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Bermain pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik.
Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam keduanya.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani.
Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat.
Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi.
Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya. Sehingga sebuah kompetisi olah raga di maju seperti Inggris, Italy, Spanyol misalnya sepakbola dapat dijadikan hiburan tersendiri bagi masyarakatnya. (Penulis : Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU - diolah dari berbagai sumber) 
 klik gambar>>baca Model TABLOID