Jumat, 14 September 2012

GAGASAN & OPINI REDAKSI - INFOKU 37


Apakah Kekuasaan Relevan Korupsi  ?
Sering kita mendengar istilah KKN ( Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) ungkapan ini cukup nyentrik dikenal oleh semua lapisan masyarakat mulai dari kalangan atas hingga kalangan masyarkat menegah ke bawa.
Istilah ini cukup populer dan hingga seorang koruptor pun akan merasa bangga disebut disebut koruptor dari pada disebut maling/ pencuri.
Maklum saja, korupsi hanya bisa dilakukan oleh pejabat negara atau pengurus sebuah badan hukum yang diberi kewenagan untuk mengelolah keuangan negara yang bersumber dari APBN / APBD.
Sedangkan maling hanya bisa dilakukan oleh masyarakat menegah kebawa yang tidak memiliki kedudukan apaa-apa.
karena itu tidak heran dalam UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi, bila ditelusuri para pembentuk UU tidak menggunakan kata maling tetapi kata korupsi.
Maklum saja pembentuk UU, adalah pejabat negara sehingga tidak mungkin menggunakan kata maling, mereka juga harus was-was jangan sampai suatu saat mereka tersandung kasus korupsi. Lebih baik disebut koruptor dari pada disebut maling.
Berbicara tentang korupsi tentu yang ada dalam benak adalah soal uang dan uang. Seorang filsuf Barat bernama Voltaire, mengatakan bahwa “dalam perkara uang semua orang memiliki ‘agama’ yang sama. Uang telah menempati bagian utama dalam drama penting yang dimainkan oleh para politisi”.
Pernyataan Voltaire tersebut cukup relevan untuk menggambarkan pemegang kekuasaan di negara ini baik di eksekutif maupun legislatif baik di pusat maupun di daerah.
Wajah kedua lembaga tersebut lebih banyak di “lumuri” oleh masalah korupsi, yang paling ironis adalah lembaga DPR.
Lembaga wakil rakyat yang diharapkan dapat mengontrol eksekutif justru terjebak dan terlibat dalam praktek korupsi.
Tumpukan uang telah menjadikan moralitas para politisi kita sangat begitu tumpul, dengan kata lain, korupsi sudah tidak mengenal tempat dan orang. Orang-orang pintar dan cerdas pun ketika berhadapan dengan uang, akhirnya tak tahan juga. Mereka memiliki “agama” yang sama dalam soal uang.
Korupsi tidak memandang apakah orang itu pintar, cerdas atau dikenal suka dan berceramah agama, bahkan sudah berjanji berpuluh-puluh kalipun moralitas publik begitu sangat rapuh saat berhadapan dengan yang namanya uang.
Apalagi ketika seseorang itu memegang kekuasaan perilaku koruptifnya makin kelihatan.
Dalam konteks ini, cukup relevan apa yang diungkapkan oleh Lord Action: power tends to corrupt, absolute power tends corrupt absolutely.
Orang yang memiliki kekuasaan cenderung korup, karenanya dengan kekuasaan besar yang melekat pada dirinya, menjadikan dirinya bisa berbuat sesuai dengan kehendaknya, terutama meraup keuntungan materi yang sebanyak-banyaknya.
Pendek kata, besarnya kekuasaan politik memiliki korelasi positif terhadap munculnya praktek korupsi.
Semakin tingginya kekuasaan yang dipegang seseorang, maka semakin tinggi pula praktek korupsi yang dilakukan Di negeri ini hampir tidak ada institusi yang steril dari korupsi.
Semua lembaga Negara baik itu dipusat dan di daerah berwajah korup, maka tidak heran bila mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif, mengatakan;
” korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai dari istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun tidur, hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet”
Semangat reformasi menghadirkan otonomi daerah di Indonesia yang sudah berjalan sekian tahun, tidak saja membawa pengaruh positif bagi daerah, tetapi justru menyuburkan tindakan korupsi.
Praktek korupsi kian menyebar dengan melibatkan pejabat daerah, menunjukkan bahwa para pejabat negara di daerah yang diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat di daerah mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk di kursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi.
Menurut sejarawan Onghokham ( 1983; 2 ), konsepsi korupsi mulai ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum, artinya korupsi mulai dikenal saat orang mulai mengenal politik modern.
Sistem politik tradisional tidak mengenal pemisahaan uang penguasa/ raja. Prinsip pemisahahn antara uang negara dengan uang pribadi muncul sejak abad 19 setela aadanya revolusi Prancis, Inggris dan Amerika.
Sejak saat itu penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap sebaagaai tindak korupsi.
Korupsi dapat didefenisikan sebaagaai tindakan penyalahgunaan kekuasaan (Abouse of Power) oleh pejabat negara yang mendapatkan amanah dari raakyat untuk mengelola kekuasaan demi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Obyek korupsi tidak hanya terbatas pada penyalahgunaan uang negara tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administrasi.
Seorang pejabat yang menyalaahgunakan kewenagnan administratifnya dan atau politik secara melawan hukum untuk keuntungan pribadi ataau orang lain dapat dikatagorikan sebagai tindakan korupsi.
Secara umum korupsi adalah tindakan melanggar norma-norma hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berakibat rusaknya tatanan yang sudah disepakati, baik tatanan hukum, politik, administrasi menejemen, sosial dan budaya serta berakibat pula terampasnya hak-hak rakayat yang semestinya didapat.
(Penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU –diolah dari berbagai sumber)