Apakah Kekuasaan Relevan Korupsi ?
Sering
kita mendengar istilah KKN ( Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) ungkapan ini cukup
nyentrik dikenal oleh semua lapisan masyarakat mulai dari kalangan atas hingga
kalangan masyarkat menegah ke bawa.
Istilah ini cukup populer dan hingga
seorang
koruptor pun akan merasa bangga disebut disebut koruptor dari pada disebut
maling/ pencuri.
Maklum saja, korupsi hanya bisa
dilakukan oleh pejabat negara atau pengurus sebuah badan hukum yang diberi
kewenagan untuk mengelolah keuangan negara yang bersumber dari APBN / APBD.
Sedangkan maling hanya bisa
dilakukan oleh masyarakat menegah kebawa yang tidak memiliki kedudukan
apaa-apa.
karena itu tidak heran dalam UU No
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi, bila ditelusuri para
pembentuk UU tidak menggunakan kata maling tetapi kata korupsi.
Maklum saja pembentuk UU, adalah
pejabat negara sehingga tidak mungkin menggunakan kata maling, mereka juga
harus was-was jangan sampai suatu saat mereka tersandung kasus korupsi. Lebih
baik disebut koruptor dari pada disebut maling.
Berbicara tentang korupsi tentu yang
ada dalam benak adalah soal uang dan uang. Seorang filsuf Barat bernama
Voltaire, mengatakan bahwa “dalam perkara uang semua orang memiliki ‘agama’ yang
sama. Uang telah menempati bagian utama dalam drama penting yang dimainkan oleh
para politisi”.
Pernyataan Voltaire tersebut cukup
relevan untuk menggambarkan pemegang kekuasaan di negara ini baik di eksekutif
maupun legislatif baik di pusat maupun di daerah.
Wajah kedua lembaga tersebut lebih
banyak di “lumuri” oleh masalah korupsi, yang paling ironis adalah lembaga DPR.
Lembaga wakil rakyat yang diharapkan
dapat mengontrol eksekutif justru terjebak dan terlibat dalam praktek korupsi.
Tumpukan uang telah menjadikan
moralitas para politisi kita sangat begitu tumpul, dengan kata lain, korupsi
sudah tidak mengenal tempat dan orang. Orang-orang pintar dan cerdas pun ketika
berhadapan dengan uang, akhirnya tak tahan juga. Mereka memiliki “agama” yang
sama dalam soal uang.
Korupsi tidak memandang apakah orang
itu pintar, cerdas atau dikenal suka dan berceramah agama, bahkan sudah
berjanji berpuluh-puluh kalipun moralitas publik begitu sangat rapuh saat
berhadapan dengan yang namanya uang.
Apalagi ketika seseorang itu
memegang kekuasaan perilaku koruptifnya makin kelihatan.
Dalam konteks ini, cukup relevan apa
yang diungkapkan oleh Lord Action: power tends to corrupt, absolute power tends
corrupt absolutely.
Orang yang memiliki kekuasaan
cenderung korup,
karenanya dengan kekuasaan besar yang melekat pada dirinya, menjadikan dirinya
bisa berbuat sesuai dengan kehendaknya, terutama meraup keuntungan materi yang
sebanyak-banyaknya.
Pendek kata, besarnya kekuasaan
politik memiliki korelasi positif terhadap munculnya praktek korupsi.
Semakin tingginya kekuasaan yang
dipegang seseorang, maka semakin tinggi pula praktek korupsi yang dilakukan Di
negeri ini hampir tidak ada institusi yang steril dari korupsi.
Semua lembaga Negara baik itu
dipusat dan di daerah berwajah korup, maka tidak heran bila mantan Ketua Umum
PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif, mengatakan;
” korupsi sudah sedemikian kuat
membelenggu kita, mulai dari istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun
tidur, hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari
tempat ibadah sampai ke toilet”
Semangat reformasi menghadirkan
otonomi daerah di Indonesia yang sudah berjalan sekian tahun, tidak saja
membawa pengaruh positif bagi daerah, tetapi justru menyuburkan tindakan
korupsi.
Praktek korupsi kian menyebar dengan
melibatkan pejabat daerah, menunjukkan bahwa para pejabat negara di daerah yang
diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat di daerah mengenai tertib hukum dan
tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk di kursi pesakitan
dengan tuntutan tindak pidana korupsi.
Menurut sejarawan Onghokham ( 1983;
2 ), konsepsi korupsi mulai ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara
keuangan pribadi dan keuangan umum, artinya korupsi mulai dikenal saat orang
mulai mengenal politik modern.
Sistem politik tradisional tidak
mengenal pemisahaan uang penguasa/ raja. Prinsip pemisahahn antara uang negara
dengan uang pribadi muncul sejak abad 19 setela aadanya revolusi Prancis,
Inggris dan Amerika.
Sejak saat itu penyalahgunaan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap
sebaagaai tindak korupsi.
Korupsi dapat didefenisikan
sebaagaai tindakan penyalahgunaan kekuasaan (Abouse of Power) oleh pejabat
negara yang mendapatkan amanah dari raakyat untuk mengelola kekuasaan demi
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Obyek korupsi tidak hanya terbatas
pada penyalahgunaan uang negara tetapi menyangkut pula korupsi politik dan
administrasi.
Seorang pejabat yang
menyalaahgunakan kewenagnan administratifnya dan atau politik secara melawan
hukum untuk keuntungan pribadi ataau orang lain dapat dikatagorikan sebagai
tindakan korupsi.
Secara umum korupsi adalah tindakan
melanggar norma-norma hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
berakibat rusaknya tatanan yang sudah disepakati, baik tatanan hukum, politik,
administrasi menejemen, sosial dan budaya serta berakibat pula terampasnya
hak-hak rakayat yang semestinya didapat.
(Penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto
– Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU –diolah dari berbagai sumber)