Bulan Puasa, Apakah Korupsi Tetap Leluasa ?
Ramadhan
telah tiba. Bulan suci umat Islam di depan mata.
Seperti biasa, bulan penuh berkah
ini selalu disambut dengan suka cita. Kedatangan bulan puasa selalu menjadi
fenomena keberagamaan Indonesia. Di balik berita gembira ini, ada yang aneh
dengan keberagamaan di negeri ini.
Namun karena keanehan sudah menjadi
hal biasa, maka ia tak lagi dilihat aneh. Ala bisa karena biasa. Salah kaprah bener ora lumrah. Karena sudah terbiasa maka menjadi
lumrah adanya, tradisi akhirnya menjadi budaya.
Fenomena
unik, menarik sekaligus menggelitik. Bulan puasa tiba, namun energi korupsi
tetap prima. Lho, kok bisa?
Puasa
dan korupsi, dua hal yang sangat-sangat-sangat kontradiktif, kontraproduktif
dan kontraindikatif! Ternyata bulan puasa tak sanggup menghalangi umat untuk
berkorupsi!
Sepertinya,
belum ada data yang menunjukkan bahwa di bulan puasa angka korupsi menurun
secara signifikan, apalagi menghilang.
Setiap
bulan puasa tiba, energi korupsi masih tetap prima. Di negeri mayoritas muslim,
tentunya para koruptor itu juga muslim, tentunya juga berpuasa jika Ramadhan
tiba.
Tapi
nyatanya, berlapar-lapar dan berdahaga-dahaga belum mampu menahan jiwa-jiwa
korup dari kerakusan, keserakahan yang menjadi ‘unsur hara utama’ kejahatan,
termasuk kejahatan luar biasa, “korupsi.” Uang, jabatan, kekuasaan dan pesona
dunia telah menjadi berhala. Sudah biasa, sudah tradisi dan budaya, apa hendak
dikata?
Ada
yang keliru dalam umat beragama (baca: pelaku agama) di negeri ini menangkap
makna agama.
Sepertinya
kita, para pelaku agama lupa, bahwa agama adalah agem-ageman kang utama,
pakaian yang utama.
Pakaian
setidaknya berfungsi sebagai pelindung badan untuk menjaga kesehatan, sebagai
penutup aurat dan aib untuk membedakan manusia dengan hewan, dan
sebagai penghias penambah keindahan.
Agama
pada hakikatnya adalah pakaian jiwa. Orang beragama mestinya terjaga
kesehatan jiwanya dari sifat dan perilaku merusak, terjaga aibnya,
perilaku binatang yang tak berakal pikiran dan terjaga dari perilaku jahat.
Bila
orang beragama tidak terjaga dari perilaku tersebut, sejatinya ia belum
beragama (atheis), dan lebih ekstrem lagi telah kufur-kafir-kufar alias
ingkar!
Ia sama
saja dengan berjalan di keramaian hanya mengenakan pakaian dalam. Dan pada
titik terendah, bahkan seperti orang telanjang tanpa sehelai benang! Primata
modern yang pintar berbahasa Indonesia.
Ramadhan
adalah bulan khusus “hadiah” Tuhan bagi umat muslim. Setan-setan dibelenggu,
pintu neraka ditutup rapat. Kejahatan dipenjara ketat.
Tapi
hadiah adalah hidayah, pemberian khusus untuk menunjukkan kedermawanan Tuhan Allah Ar-rahman.
Tak ada
hadiah yang gratis di dunia ini. Bahkan Tuhan juga tak begitu bodoh untuk
memberikan hadiah kepada orang yang tak layak menerima hadiah! Ternyata
setan-setan masih bebas berkeliaran. Sebulan kita berpuasa, korupsi masih tetap
menggelora.
Hadiah
hanya diperuntukkan bagi hamba-Nya yang disukainya karena ketaatan total tanpa
menduakan. Hadiah juga diberikan sebagai bentuk dukungan agar si penerima
hadiah berbuat lebih baik di masa mendatang.
Puasa
tahun ini mesti lebih baik dari puasa tahun kemarin, dan puasa tahun depan
mesti lebih baik dari puasa tahun ini. Jika yang terjadi sebaliknya, maka tentu
hadiah akan distop! Lalu bagaimana kita tahu bahwa hadiah itu pasti kita terima
disetiap hari raya, sehingga dengan penuh suka cita merayakannya dengan
berpesta?
“Lebaran
extravaganza, lebaran euforia!” Banyak dari kita tertipu oleh “kepandiran
beragama.” Agama telah kehilangan logika. Manusia tanpa logika, tak lebih baik
dari binatang ternak, mamalia.
Ketika
kesalehan ritual-seremonial berbanding terbalik dengan kesalehan
sosial-komunal, maka umat manusia terperangkap dalam kesalahan massal. Ghurur,
tertipu, keblinger. Blingerisme dan blingerisasi telah
sedemikian parahnya melanda!
Evolusi
terjadi, dulu oelama, kemarin ulama, dan kini ‘ulama.’ Di masa tempo
doeloe ilmu masih terjaga, lalu seiring zaman ilmu mengalami
pembelokan makna, dan kini ilmu mengalami pembalikan makna dengan grafik tapal
kuda. Grafik paradigma menyimpang terlalu jauh dari fitrah agama!
Pinter keblinger.
Berilmu,
tapi tertipu. Semakin berilmu, semakin cenderung menjadi penipu. Ilmu agama dan
ilmu dunia sama kongruen dan sebangun dalam mengalami pembelokan dan pembalikan
makna. Kejahatan di dominasi orang berilmu, ‘ulama’-alim jahat dan intekek-intelek
kualat.
Di
negeri “Koruptor dan agama KTP”, agama
tak lebih dari label formal di atas selembar kartu identitas. ‘Ruh’ agama gagal
menghidupkan jiwa untuk mencegah maraknya kejahatan luar biasa, korupsi.
Korupsi Al Qur’an di Depag
beberapa hari belakangan ini menjadi bukti, bahwa keilmuan seseorang tidak
identik dengan kesalehan sosial, kadang justru menjadi ‘pintu neraka’ kesalahan
massal.
Dalam
sejarahnya, sangat ironis ketika ternyata Depag sebagai simbol lembaga tersuci
dari seluruh lembaga dunia ternyata sudah tak steril dari belitan gurita
korupsi.
Lebih
gila na’udzubillah lagi, Depag menjadi salah
satu lembaga terkorup di NKRI! Tuhan telah terdepak dari Indonesia,
kutukan sejarah menjadi niscaya, dhamma-karma dari
hamba dan bangsa yang ingkar kepada agama dan durhaka kepada Tuhannya.
Maja
jadikanlah puasa kita belum mampu meredam ‘syahwat’ korupsi dari dalam jiwa,
maka surga yang kita impikan, neraka yang bakal Tuhan hidangkan.
Surga
hanya berhak diharapkan oleh jiwa-jiwa tenang, nafs-al-muthmainnah, bukan
jiwa-jiwa ’monster’ koruptor, tikus-tikus kantor yang
berenang di sungai yang kotor.
Bukan
pula jiwa terkontaminasi konspirasi manusia-rayap-setan dengan insting jahat
buas, nggragas tak kenal puas.
Ramadhan telah tiba.
Bisakah kita me-‘revolusi agama’ (Islam) agar kembali pada hakikatnya?
Agar
geriap riak gelombang ritual agama yang begitu indah mempesona berbanding lurus
dengan nilai-nilainya, meng-eja wantah dalam keseharian umat-bangsa.
Andai
saja ramadhan tahun ini umat muslim di Indonesia bisa berpuasa dengan
sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya sesuai ajaran otentik Nabi Muhammad,
niscaya satu bulan menjadi waktu yang lebih dari cukup untuk melepaskan bangsa-negara
ini dari lingkaran setan problema, seberapapun besarnya.
Dengan
spirit kembali kepada fitrah kesucian di hari raya Idul Fitri, berapa banyak
harta negara yang selamat dari kejahatan korupsi. Sebab mayoritas di antara
kita yang terlibat di dalamnya adalah muslim, yang juga tentunya berpuasa,
mendambakan surga.
Berapa
ribu triliun rupiah uang rakyat yang kembali karena para koruptor bertaubat
demi hak surga, sebab para saksi, tersangka dan terpidana akan kooperatif
terhadap KPK. Maka berapa banyak pula kasus-kasus besar misterius terungkap dan
terbuka.
Berapa
banyak energi negeri yang selama ini terkuras dalam perang melawan korupsi
terhemat, sehingga bisa dialihkan kepada kesejahteraan umat.
Berapa
banyak kejahatan tercegah sehingga produktivitas meningkat secara signifikan
oleh terciptanya ketenteraman.
Berapa
banyak ekonomi nasional terbantu dengan terjaganya inflasi, karena puasa
mengajarkan kesederhanaan dan berlapar-lapar sebagai pelatihan melepas
ketergantungan kepada nafsu-syahwat materi-duniawi.
Berapa
banyak berkah dan kebaikan Tuhan curahkan di bumi nusantara, prototip surga di
dunia, zamrud khatulistiwa, merasakan barang sebulan cita rasa gemah
ripah loh jinawi, tata titi tentrem kertaraharja, hanya dengan
spirit berpuasa.
Ramadhan
telah tiba. Untuk sekali saja semoga tahun ini kita dapati bulan suci yang
sedikit meredam energi korupsi di negeri ini. Aamien… ***
(Penulis :Drs.Ec. Agung Budi Rustanto- Pimpinan Redaksi Tabloid INFOKU
- DIOLAH DARI BERBAGAI SUMBER)
klik gambar>>> baca model TABLOID