Jumat, 31 Agustus 2012

Gagasan & Opini - Infoku 36


Proklamasi, Kriminalisasi Pers dan Kultur Antidemokrasi
Apa jadinya kehidupan sosial tanpa media massa? Apa jadinya reformasi tanpa pers?
Kehidupan masyarakat yang ditandai kehendak bersama melakukan perubahan, demokratisasi menuju perbaikan kesejahteraan hidup, sudah pasti tidak berjalan tanpa peran media massa, terutama pers di dalamnya.
Pada hakikatnya, wajah pers adalah cerminan wajah masyarakatnya. Liputan pers mewakili kondisi sebenarnya dari keberadaan masyarakatnya.
Jika liputan pers sarat persoalan, hal ini mencerminkan persoalan yang ada dalam masyarakat.
Seperti halnya yang sekarang ini ditampilkan pers, banyak liputan korupsi di berbagai lembaga dan organisasi, maka begitulah wajah masyarakat.
Karakter pers ini didasari prinsip faktual, yang terjadi atau yang diindikasi terjadi.
Siapa pun pelaku sejarah, apakah seorang ketua partai politik atau pemimpin hampir-hampir tidak mungkin bisa lepas dari dukungan pers, terutama dalam menyebarkan gagasan dan program partainya.
Tidak ada dalam sejarah, ketua partai politik bekerja menyebarkan ide dan tujuan partai yang dipimpinnya, melalui pidato, diskusi, selebaran atau pengumpulan massanya sendiri, tanpa  dukungan--secara langsung atau tidak langsung--dari media massa atau pers.
Oleh  sebab itu, mustahil seorang ketua partai politik antikehadiran pers.
Karena sifat pers pada faktualitas, pers memiliki dua karakter, menampilkan berita yang menyenangkan (support) dan menyakitkan (critic). Fungsi  kritik pers ini yang sering menimbulkan salah tafsir.
 Demokratisasi, yang diusung gerakan reformasi, secara sistemik akan terkait keberadaan pers. Bahkan, kebebasan pers menjadi salah satu tolok ukur dan prinsip tegaknya proses demokrasi.
Tanpa pers yang independent dalam menjalankan fungsinya, demokratisasi dinilai bukan lagi demokratisasi.
Walaupun para ketua partai, pejabat pemerintah, alim ulama atau akademisi, berteriak lantang kita sudah memasuki kehidupan yang demokratis--tanpa pers yang bebas dalam menjalankan perannya--tetap tidak bisa disebut demokrasi. Paling kata moderat yang bisa ditempelkan dalam kondisi demikian, adalah demokrasi semu.
Dunia pers memiliki aturan, kode etik, dan prosedur yang spesialis karena dalam menjalankan fungsinya pers selalu bersentuhan denga  kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Meskipun demikian, wajah pers, sebagai wajah masyarakat, tidak lepas cerminan wajah budaya.
Budaya tercermin dari pikiran dan tindakan berbudaya-yang terwujud dalam berbagai hal simbol, aturan, hukum, komunikasi, dan sebagainya.
Apabila pikiran dan tindakan tersebut berciri ingin menang sendiri, adigang adigung atau sewenang-wenang, yang tampil adalah budaya otoriter.
Jika seorang pemimpin, parpol, organisasi, lembaga, termasuk institusi pers berpikir dan bertindak sewenang-wenang, lengkaplah budaya otoriter itu.
Oleh sebab itu, kultur berpikir dan bertindak sering menghambat—atau sebaliknya bisa dilakukan--pers dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk kepentingan umum.
Seperti halnya yang terjadi pada kasus dua wartawan Koridor, yaitu Pemimpin Redaksi Darwin Ruslinur dan Redaktur Pelaksana Budiono Syahputro, yang divonis sembilan bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Tanjungkarang karena dianggap mencemarkan nama baik Ketua Tim Kampanye Partai Golkar Alzier
Dianis Thabranie dan Wakilnya, Indra Karyadi, dengan adanya pemuatan berita
berjudul "Alzier dan Indra Karyadi Diindikasikan Kuat Tilap Dana Saksi Partai
Golkar Rp1,25 Miliar".
Kasus di atas, boleh jadi merupakan peristiwa yang kesekian kali berulang-ulang dalam sejarah Indonesia sejak zaman Belanda, Soekarno, Soeharto, hingga era reformasi sekarang ini.
 Oleh sebab itu, kacamata yang lebih relevan menelaah kasus dipenjaranya dua wartawan di atas ada dalam cakupan peristiwa budaya, bukan persoalan hukum. Budaya yang dimaksud di sini adalah "budaya pencemaran nama baik" oleh pers terhadap pihak-pihak yang merasa sakit hati atas peranan pers.
Budaya pencemaran nama baik menjadi perspektif dominan, tunggal, dan memaksa lembaga-lembaga peradilan digunakan dalam menghadapi problem pers ketika menjalankan fungsi kritik. Tidak hanya lembaga peradilan, tetapi elemen-elemenmasyarakat-pun secara linear memanfaatkan jargon budaya pencemaran nama baik dalam menyikapi kritik pers.
 Meskipun diketahui umum budaya pencemaran nama baik adalah konstruksi hukum warisan kolonialisme Belanda yang dimaksudkan membatasi kritik dan komplain atas penindasan dan penjajahan Belanda, to tetap berlaku hingga kini.
Tidak ada enlightenment (pencerahan) pemikiran dalam menyikapi kritik pers.
Dalam konteks ini, pemikiran publik yang direpresentasikan para tokoh dan
institusi masih beku, mandek, dan stagnan.
Padahal, pascareformasi pada zaman Presiden Habibie lahir UU Pers sebagai aturan main dunia media massa (pers) yang dinilai sebagai keputusan politik
demokratis.
Namun, dalam praktiknya UU Pers sudah hadir tetapi belum bisa
dijalankan secara efektif, padahal dalam UU Pers juga memungkinkan pemberian
sanksi bagi jurnalis yang melakukan kesalahan peliputan.
Kriminalisasi pers adalah problem budaya, problem berpikir, dan bertindak, yang menjangkiti orang perorang, birokrasi, dan lembaga-lembaga yang tetap hidup dalam suasana dan iklim demokratisasi yang menghambat dan mengerdilkan demokratisasi itu sendiri.
Oleh sebab itu, penting dicatat dalam sejarah kehidupan publik, sebenarnya masih banyak karang terjal yang dihadapi dalam membangun demokrasi.
Bagi kalangan pers dan media massa, sudah sepatutnya peristiwa di atas menjadi catatan tersendiri secara internal membenahi kembali kelembagaan dan keorganisasian pers yang bertebaran dan saling bertumburan menjadi konsolidasi kelembagaan dan keorganisasian yang solid, atau paling tidak saling mendukung
dan memahami satu sama lain.
Di samping itu, pers dan dunia pers mampu menjadikan peristiwa ini menjadi momentum tracking individu-individu, partai-partai, organisasi-organisasi, dan institusi-institusi yang masih menganut budaya pencemaran nama baik dalam konteks tradisi kolonial.
Tracking ini penting dalam dua dimensi. Pertama, adalah dimensi politik, yaitu membangun kembali makna amanah (kepercayaan) seorang pemimpin atau
lembaga. Selain itu, adalah membangun akuntabilitas politik elite dan membangun
strategi dan mekanisme kontrol terhadap elite.
Kemudian bisa menjadi arah meningkatkan partisipasi publik dalam proses
 politik, serta tekanan terhadap perilaku individu, organisasi atau lembaga yang
 bias dalam mengelola kekuasaan.
Kedua, dimensi transformasi budaya politik, yaitu membangun kesadaran rakyat atau konstituen tentang pentingnya membuat pilihan-pilihan politik yang tepat. Serta, menciptakan keterbukaan informasi yang memungkinkan rakyat atau konstituen mengenal dan memahami siapa elite politik yang layak menjadi pemimpin atau pejabat yang layak menjadi pejabat. (Penulis Drs.Ec.Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU- Diolah dari berbagai Sumber)