Proklamasi,
Kriminalisasi Pers dan Kultur Antidemokrasi
Apa
jadinya kehidupan sosial tanpa media massa? Apa jadinya reformasi tanpa pers?
Kehidupan masyarakat yang ditandai
kehendak bersama melakukan perubahan, demokratisasi menuju perbaikan
kesejahteraan hidup, sudah pasti tidak berjalan tanpa peran media massa,
terutama pers di dalamnya.
Pada hakikatnya, wajah pers adalah
cerminan wajah masyarakatnya. Liputan pers mewakili kondisi sebenarnya dari
keberadaan masyarakatnya.
Jika liputan pers sarat persoalan,
hal ini mencerminkan persoalan yang ada dalam masyarakat.
Seperti halnya yang sekarang ini
ditampilkan pers, banyak liputan korupsi di berbagai lembaga dan organisasi,
maka begitulah wajah masyarakat.
Karakter
pers ini didasari prinsip faktual, yang terjadi atau yang diindikasi terjadi.
Siapa pun pelaku sejarah, apakah
seorang ketua partai politik atau pemimpin hampir-hampir tidak mungkin bisa
lepas dari dukungan pers, terutama dalam menyebarkan gagasan dan program
partainya.
Tidak ada dalam sejarah, ketua partai
politik bekerja menyebarkan ide dan tujuan partai yang dipimpinnya, melalui pidato,
diskusi, selebaran atau pengumpulan massanya sendiri, tanpa dukungan--secara langsung atau tidak
langsung--dari media massa atau pers.
Oleh sebab itu, mustahil seorang ketua partai
politik antikehadiran pers.
Karena
sifat pers pada faktualitas, pers memiliki dua karakter, menampilkan berita yang
menyenangkan (support) dan menyakitkan (critic). Fungsi kritik pers ini yang sering menimbulkan salah
tafsir.
Demokratisasi, yang diusung gerakan reformasi,
secara sistemik akan terkait keberadaan pers. Bahkan, kebebasan pers menjadi
salah satu tolok ukur dan prinsip tegaknya proses demokrasi.
Tanpa pers yang independent dalam
menjalankan fungsinya, demokratisasi dinilai bukan lagi demokratisasi.
Walaupun para ketua partai, pejabat
pemerintah, alim ulama atau akademisi, berteriak lantang kita sudah memasuki
kehidupan yang demokratis--tanpa pers yang bebas dalam menjalankan
perannya--tetap tidak bisa disebut demokrasi. Paling kata moderat yang bisa
ditempelkan dalam kondisi demikian, adalah demokrasi semu.
Dunia pers memiliki aturan, kode
etik, dan prosedur yang spesialis karena dalam menjalankan fungsinya pers
selalu bersentuhan denga kepentingan-kepentingan yang ada dalam
masyarakat. Meskipun demikian, wajah pers, sebagai wajah masyarakat, tidak
lepas cerminan wajah budaya.
Budaya tercermin dari pikiran dan
tindakan berbudaya-yang terwujud dalam berbagai hal simbol, aturan, hukum,
komunikasi, dan sebagainya.
Apabila pikiran dan tindakan
tersebut berciri ingin menang sendiri, adigang adigung atau sewenang-wenang,
yang tampil adalah budaya otoriter.
Jika seorang pemimpin, parpol,
organisasi, lembaga, termasuk institusi pers berpikir dan bertindak
sewenang-wenang, lengkaplah budaya otoriter itu.
Oleh sebab itu, kultur berpikir dan
bertindak sering menghambat—atau sebaliknya bisa dilakukan--pers dalam menjalankan
tugas-tugasnya untuk kepentingan umum.
Seperti halnya yang terjadi pada
kasus dua wartawan Koridor, yaitu Pemimpin Redaksi Darwin Ruslinur dan Redaktur
Pelaksana Budiono Syahputro, yang divonis sembilan bulan penjara dalam sidang
di Pengadilan Negeri Tanjungkarang karena dianggap mencemarkan nama baik Ketua
Tim Kampanye Partai Golkar Alzier
Dianis Thabranie dan Wakilnya, Indra
Karyadi, dengan adanya pemuatan berita
berjudul
"Alzier dan Indra Karyadi Diindikasikan Kuat Tilap Dana Saksi Partai
Golkar
Rp1,25 Miliar".
Kasus di atas, boleh jadi merupakan
peristiwa yang kesekian kali berulang-ulang dalam sejarah Indonesia sejak zaman
Belanda, Soekarno, Soeharto, hingga era reformasi sekarang ini.
Oleh sebab itu, kacamata yang lebih relevan menelaah
kasus dipenjaranya dua wartawan di atas ada dalam cakupan peristiwa budaya,
bukan persoalan hukum. Budaya yang dimaksud di sini adalah "budaya pencemaran
nama baik" oleh pers terhadap pihak-pihak yang merasa sakit hati atas
peranan pers.
Budaya pencemaran nama baik menjadi
perspektif dominan, tunggal, dan memaksa lembaga-lembaga peradilan digunakan
dalam menghadapi problem pers ketika menjalankan fungsi kritik. Tidak hanya
lembaga peradilan, tetapi elemen-elemenmasyarakat-pun secara linear
memanfaatkan jargon budaya pencemaran nama baik dalam menyikapi kritik pers.
Meskipun diketahui umum budaya pencemaran nama
baik adalah konstruksi hukum warisan kolonialisme Belanda yang dimaksudkan
membatasi kritik dan komplain atas penindasan dan penjajahan Belanda, to tetap
berlaku hingga kini.
Tidak ada enlightenment (pencerahan)
pemikiran dalam menyikapi kritik pers.
Dalam
konteks ini, pemikiran publik yang direpresentasikan para tokoh dan
institusi
masih beku, mandek, dan stagnan.
Padahal, pascareformasi pada zaman
Presiden Habibie lahir UU Pers sebagai aturan main dunia media massa (pers)
yang dinilai sebagai keputusan politik
demokratis.
Namun, dalam praktiknya UU Pers
sudah hadir tetapi belum bisa
dijalankan
secara efektif, padahal dalam UU Pers juga memungkinkan pemberian
sanksi
bagi jurnalis yang melakukan kesalahan peliputan.
Kriminalisasi pers adalah problem
budaya, problem berpikir, dan bertindak, yang menjangkiti orang perorang,
birokrasi, dan lembaga-lembaga yang tetap hidup dalam suasana dan iklim
demokratisasi yang menghambat dan mengerdilkan demokratisasi itu sendiri.
Oleh sebab itu, penting dicatat
dalam sejarah kehidupan publik, sebenarnya masih banyak karang terjal yang
dihadapi dalam membangun demokrasi.
Bagi kalangan pers dan media massa,
sudah sepatutnya peristiwa di atas menjadi catatan tersendiri secara internal
membenahi kembali kelembagaan dan keorganisasian pers yang bertebaran dan
saling bertumburan menjadi konsolidasi kelembagaan dan keorganisasian yang solid,
atau paling tidak saling mendukung
dan
memahami satu sama lain.
Di samping itu, pers dan dunia pers
mampu menjadikan peristiwa ini menjadi momentum tracking individu-individu, partai-partai,
organisasi-organisasi, dan institusi-institusi yang masih menganut budaya
pencemaran nama baik dalam konteks tradisi kolonial.
Tracking ini penting dalam dua
dimensi. Pertama, adalah dimensi politik, yaitu membangun kembali makna amanah
(kepercayaan) seorang pemimpin atau
lembaga.
Selain itu, adalah membangun akuntabilitas politik elite dan membangun
strategi
dan mekanisme kontrol terhadap elite.
Kemudian bisa menjadi arah
meningkatkan partisipasi publik dalam proses
politik, serta tekanan terhadap perilaku
individu, organisasi atau lembaga yang
bias dalam mengelola kekuasaan.
Kedua, dimensi transformasi budaya
politik, yaitu membangun kesadaran rakyat atau konstituen tentang pentingnya
membuat pilihan-pilihan politik yang tepat. Serta, menciptakan keterbukaan
informasi yang memungkinkan rakyat atau konstituen mengenal dan memahami siapa
elite politik yang layak menjadi pemimpin atau pejabat yang layak menjadi
pejabat. (Penulis Drs.Ec.Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU-
Diolah dari berbagai Sumber)