Jumat, 25 Mei 2012

Negeri Makelar - INFOKU edisi 30

Negeri Para Makelar
Mbak Endah termasuk mahasiswi Universitas NKRI yang rajin. Beliau bekerja sebagai bendahara pada sebuah instansi pemerintah daerah yang menangani masalah-masalah sosial.
Orangnya lugu. Lugu sekali. Karena keluguannya itu, teman-teman di kelas UT sering mengorek ‘dongeng’ tentang pekerjaannya.
“Bulan ini kantor rencananya mau bikin pengadaan gerobak dorong buat membantu masyarakat tidak mampu supaya bisa berjualan apa saja dengan gerobak dorongnya itu!” Mbak Parti memulai dongengannya.
“Wah, anggarannya besar dong, mbak!” mas Roy langsung menyambar.
“Iya! Hampir lima ratus jutaan lah!”         
“Wuaah, besar amat! Emang gerobak dorongnya mau beli berapa sih, mbak?”
“Ya banyaklah! Kalo satu gerobak baru aja harganya sampai lima ratus ribu, bisa dapet seribu gerobak kan?”, katanya sambil tersenyum.
Seribu gerobak dorong. Lumayan banyak buat membantu para pengangguran di universitas NKRI. Minimal bisa memberi mereka pekerjaan buat menyambung hidup di tengah himpitan beban ekonomi yang semakin lama semakin tidak tertanggungkan ini.
“Dua minggu yang lalu pimpronya dah bikin survei dan proposal tender buat pengadaannya!
Walah, bikin gerobak pun pakai acara tender segala ternyata! Kata mas Roy.
Memang jika dilihat dari posisi geografisnya Universitas NKRI, terletak diantara dua benua dan dua samudera.
Semua orang tahu hal ini. Karena itulah bangsa ini gemar memerantarai apa saja. Yang namanya perantara, dimana-mana harus fleksibel agar dapat menjembatani dua kepentingan.
Dalam banyak hal, posisi demikian akan sangat menguntungkan, terutama ditinjau dari sudut ekonomi perdagangan. Dan mestinya, tanpa menggali kekayaan alam secara membabi-buta, bangsa ini - sekali lagi mestinya - bisa menjadi bangsa yang kaya.
Tapi kenyataannya tidak. Bangsa ini tidak menjadi kaya. Yang kaya adalah individu-individu yang menjadi agen perantara, yang memerantarai apa saja, khususnya mereka yang menjadi perantara bidang bisnis politik dan ekonomi.
Sebenarnya sah-sah saja menggeluti profesi sebagai perantara. Tapi karena sudah dari sononya berada diantara dua benua, mungkin gen bawaan lahir sebagai perantara ini tidak lagi mengenal tempat, bahkan tidak lagi mengenal ‘muka’.
Apa saja bisa diperantarai, bahkan untuk dua kepentingan yang seharusnya dipisahkan: pribadi dan publik.
Ini semakin runyam ketika dicampuraduk dengan kepentingan politik dan ekonomi pribadi, yang mengatasnamakan kepentingan publik atau orang banyak.
LSM banyak dicurigai mengemban misi ‘pribadi’ dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Ini boleh dikatakan sudah ‘jamak’!
Tapi yang lebih menyedihkan adalah para wakil rakyat yang mestinya bekerja mewakili rakyat, ternyata justru rebutan tender buat kroni-kroni dagangnya sendiri: paman, teteh, aa, adik, bibi, bunda.
 Parahnya, gigi mereka bisa keluar menyeringai dan menakutkan para birokrat-birokrat pemilik proyek melalui senjata pertanggungjawaban seandainya urusan mereka tidak lancar.
Ya, pertanggungjawaban seakan menjadi momok yang menakutkan para pejabat birokrasi. Sebenarnya hal demikian, ya bagus dan sah-sah saja.
Toh jabatan birokrasi merupakan jabatan titipan publik yang memang harus dipertanggunjawabkan.
 Namun seandainya pertanggungjawaban ini dijadikan senjata untuk menghantam birokrasi secara sewenang-wenang, apalagi jika urusan hantam menghantam ini ternyata ada udang dibalik kepentingan titipan, ini yang musti kita sama-sama hantam juga!
Jadinya ya memang tidak mudah, karena dalam kehidupan yang sebenarnya, tidak ada istilah hitam atau putih. Berpikir lurus atau apalagi lugu, tidak hanya naif, tapi bisa menjadi hantaman balik ke diri sendiri.
Jaman sekarang memang bukan tempatnya orang lurus!
Kalau keadaan ini dibiarkan secara berlarut mereka para wakil rakyat terhormat ibarat Makelar atau calo. Atau yang saat ini dikenal dengan Makelar Proyek (MARPRO).
Makelar sebetulnya pekerjaan atau profesi yang baik dan diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
Makelar, seperti halnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua Cetakan ketiga 1994, penerbitan Balai Pustaka, berarti: ?perantara perdagangan (antara pembeli dan penjual).
Orang yang menjualkan barang dan mencarikan pembeli; pialang?. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, susunan WJS Poerwadarminta, cetakan XIII tahun 1993, makelar adalah: ?pengantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli?.
Dalam beberapa jenis usaha, mekelar juga dinamakan agen atau pialang.
Jadi, sebenarnya makelar mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam perekonomian. Untuk produk-produk industri dibutuhkan agen untuk memperluas jaringan konsumen dan memperlancar perdagangan.
Agen juga pesat berkembang dalam bidang asuransi dan property. Lain halnya dalam bursa saham dan komoditi, serta lelang, peran perantara perdagangan disebut pialang. Makelar, agen, maupun pialang menyediakan jasanya dengan imbalan komisi.
Tetapi bagi masyarakat umum, perantara lebih dikenal dengan istilah calo. Calo, dalam beberapa kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai ?
orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah?, tidak ada bedanya dengan makelar.
Calo lebih dikenal dalam pekerjaan yang lebih sederhana, seperti calo tiket pesawat terbang, kapal laut dan bis. Calo juga berkeliaran ditempat pelayanan publik, dengan birokrasinya yang dikenal berbelit, seperti urusan di pemda, kepolisian, imigrasi dan yang lain.
Untuk mempermudah dan memperlancar berbagai urusan di kantor publik banyak warga menggunakan jasa calo. Sebab itu muncul istilah uang sogok, uang pelicin, sampai uang pengertian.
Baik makelar maupun calo, selain mendapatkan komisi dan upah, sering berusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak dengan cara menaikan harga atau melakukan mark up.
Selain MARKUS (Makelar Kasus), yang menjadi pembicaraan masyarakat dan merupakan duri dalam kehidupan kita ada juga yakni MARJAB, atau makelar jabatan.
Marjab, banyak dikenal dikalangan pegawai negeri atau pejabat BUMN dalam memproses untuk menempati jabatan strategis, eselon tertentu atau direksi.
Marjab berupaya memperkenalkan, mengusulkan, dan menyampaikan riwayat hidup kliennya kepada pejabat atau tim yang akan mengambil keputusan. Tentu pekerjaan ini dilakukan dengan imbalan. Mereka lebih senang disebut pelobi, katanya lebih terhormat.
Sekarang jawaban kembali ke kita sendiri, adakah ketiga makelar tersebut di Blora ?
(Penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto- Pimpinan Redaksi Tabloid Infoku)