Negeri Para
Makelar
Mbak Endah
termasuk mahasiswi Universitas NKRI yang rajin. Beliau bekerja sebagai
bendahara pada sebuah instansi pemerintah daerah yang menangani masalah-masalah
sosial.
Orangnya lugu. Lugu sekali. Karena keluguannya itu, teman-teman di
kelas UT sering mengorek ‘dongeng’ tentang pekerjaannya.
“Bulan ini kantor rencananya mau bikin pengadaan gerobak dorong buat
membantu masyarakat tidak mampu supaya bisa berjualan apa saja dengan gerobak
dorongnya itu!” Mbak Parti memulai dongengannya.
“Wah, anggarannya besar dong, mbak!” mas Roy langsung menyambar.
“Iya! Hampir lima ratus jutaan lah!”
“Wuaah, besar amat! Emang gerobak dorongnya mau beli berapa sih,
mbak?”
“Ya banyaklah! Kalo satu gerobak baru aja harganya sampai lima ratus
ribu, bisa dapet seribu gerobak kan?”, katanya sambil tersenyum.
Seribu gerobak dorong. Lumayan banyak buat membantu para pengangguran
di universitas NKRI. Minimal bisa memberi mereka pekerjaan buat menyambung
hidup di tengah himpitan beban ekonomi yang semakin lama semakin tidak
tertanggungkan ini.
“Dua minggu yang lalu pimpronya dah bikin survei dan proposal tender
buat pengadaannya!
”Walah, bikin gerobak pun pakai acara tender segala ternyata! Kata
mas Roy.
Memang jika dilihat dari posisi geografisnya Universitas NKRI,
terletak diantara dua benua dan dua samudera.
Semua orang tahu hal ini. Karena itulah bangsa ini gemar memerantarai
apa saja. Yang namanya perantara, dimana-mana harus fleksibel agar dapat
menjembatani dua kepentingan.
Dalam banyak hal, posisi demikian akan sangat menguntungkan, terutama
ditinjau dari sudut ekonomi perdagangan. Dan mestinya, tanpa menggali kekayaan
alam secara membabi-buta, bangsa ini - sekali lagi mestinya - bisa menjadi
bangsa yang kaya.
Tapi kenyataannya tidak. Bangsa ini tidak menjadi kaya. Yang kaya
adalah individu-individu yang menjadi agen perantara, yang memerantarai apa
saja, khususnya mereka yang menjadi perantara bidang bisnis politik dan
ekonomi.
Sebenarnya sah-sah saja menggeluti profesi sebagai perantara. Tapi
karena sudah dari sononya berada diantara dua benua, mungkin gen bawaan lahir
sebagai perantara ini tidak lagi mengenal tempat, bahkan tidak lagi mengenal
‘muka’.
Apa saja bisa diperantarai, bahkan untuk dua kepentingan yang
seharusnya dipisahkan: pribadi dan publik.
Ini semakin runyam ketika dicampuraduk dengan kepentingan politik dan
ekonomi pribadi, yang mengatasnamakan kepentingan publik atau orang banyak.
LSM banyak dicurigai mengemban misi ‘pribadi’ dengan mengatasnamakan
kepentingan rakyat. Ini boleh dikatakan sudah ‘jamak’!
Tapi yang lebih menyedihkan adalah para wakil rakyat yang mestinya
bekerja mewakili rakyat, ternyata justru rebutan tender buat kroni-kroni
dagangnya sendiri: paman, teteh, aa, adik, bibi, bunda.
Parahnya, gigi mereka bisa
keluar menyeringai dan menakutkan para birokrat-birokrat pemilik proyek melalui
senjata pertanggungjawaban seandainya urusan mereka tidak lancar.
Ya, pertanggungjawaban seakan menjadi momok yang menakutkan para
pejabat birokrasi. Sebenarnya hal demikian, ya bagus dan sah-sah saja.
Toh jabatan birokrasi merupakan jabatan titipan publik yang memang
harus dipertanggunjawabkan.
Namun seandainya
pertanggungjawaban ini dijadikan senjata untuk menghantam birokrasi secara
sewenang-wenang, apalagi jika urusan hantam menghantam ini ternyata ada udang
dibalik kepentingan titipan, ini yang musti kita sama-sama hantam juga!
Jadinya ya memang tidak mudah, karena dalam kehidupan yang sebenarnya,
tidak ada istilah hitam atau putih. Berpikir lurus atau apalagi lugu, tidak
hanya naif, tapi bisa menjadi hantaman balik ke diri sendiri.
Jaman sekarang
memang bukan tempatnya orang lurus!
Kalau keadaan ini dibiarkan secara berlarut mereka para wakil rakyat
terhormat ibarat Makelar atau calo. Atau yang saat ini dikenal dengan Makelar
Proyek (MARPRO).
Makelar sebetulnya pekerjaan atau profesi yang baik dan diperlukan
dalam kehidupan masyarakat.
Makelar, seperti halnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua Cetakan ketiga 1994, penerbitan Balai Pustaka, berarti: ?perantara
perdagangan (antara pembeli dan penjual).
Orang yang menjualkan barang dan mencarikan pembeli; pialang?.
Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, susunan WJS Poerwadarminta, cetakan
XIII tahun 1993, makelar adalah: ?pengantara perdagangan (orang yang menjualkan
barang atau mencarikan pembeli?.
Dalam beberapa jenis usaha, mekelar juga dinamakan agen atau pialang.
Jadi, sebenarnya makelar mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam
perekonomian. Untuk produk-produk industri dibutuhkan agen untuk memperluas
jaringan konsumen dan memperlancar perdagangan.
Agen juga pesat berkembang dalam bidang asuransi dan property. Lain
halnya dalam bursa saham dan komoditi, serta lelang, peran perantara
perdagangan disebut pialang. Makelar, agen, maupun pialang menyediakan jasanya
dengan imbalan komisi.
Tetapi bagi masyarakat umum, perantara lebih dikenal dengan istilah
calo. Calo, dalam beberapa kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai ?
orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah?,
tidak ada bedanya dengan makelar.
Calo lebih dikenal dalam pekerjaan yang lebih sederhana, seperti calo
tiket pesawat terbang, kapal laut dan bis. Calo juga berkeliaran ditempat
pelayanan publik, dengan birokrasinya yang dikenal berbelit, seperti urusan di
pemda, kepolisian, imigrasi dan yang lain.
Untuk mempermudah dan memperlancar berbagai urusan di kantor publik
banyak warga menggunakan jasa calo. Sebab itu muncul istilah uang sogok, uang
pelicin, sampai uang pengertian.
Baik makelar maupun calo, selain mendapatkan komisi dan upah, sering
berusaha untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak dengan cara menaikan harga
atau melakukan mark up.
Selain MARKUS (Makelar Kasus), yang
menjadi pembicaraan masyarakat dan merupakan duri dalam kehidupan kita ada juga
yakni MARJAB, atau makelar jabatan.
Marjab, banyak dikenal dikalangan pegawai negeri atau pejabat BUMN
dalam memproses untuk menempati jabatan strategis, eselon tertentu atau
direksi.
Marjab berupaya memperkenalkan, mengusulkan, dan menyampaikan riwayat
hidup kliennya kepada pejabat atau tim yang akan mengambil keputusan. Tentu
pekerjaan ini dilakukan dengan imbalan. Mereka lebih senang disebut pelobi,
katanya lebih terhormat.
Sekarang jawaban kembali ke kita sendiri, adakah ketiga makelar
tersebut di Blora ?
(Penulis Drs
Ec. Agung Budi Rustanto- Pimpinan Redaksi Tabloid Infoku)