Budidaya Rumput Laut Ditinggalkan
INFOKU, REMBANG - Tidak adanya jaminan pasar yang jelas membuat nelayan dan petani tambak di Kabupaten Rembang meninggalkan budidaya rumput laut.
Padahal sepanjang 2011, Pemkab Rembang melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislautkan) setempat terus mempromosikan komuditas itu karena hasilnya dinilai menjanjikan.
Selain mendorong nelayan membudidyakan rumput laut jenis cottoni Sp di wilayah perairan laut setempat, Dislautkan juga mengajak petani tambak memudidayakan rumput laut jenis gracilaria Sp secara polikultur di lahan tambak udang dan bandeng.
"Sebenarnya nelayan maupun petani sangat antusias membudidayakan rumput laut, khususnya di areal tambak udang dan bandeng. Namun saat panen tiba, harga rumput laut justru anjlok hingga Rp 4.000/kg," jelas Suparman, Kepala Dislautkan, Kamis (5/1).
Suparman mengatakan, harga yang dipatok perusahaan itu sangat merugikan petani. Agar tetap menguntungkan, harga rumput laut ditingkat petani setidaknya menyentuh level Rp 6.000/kg. "Karena harga yang terlalu rendah itu, petani malas memanen rumput lautnya," katanya.
Dia mencontohkan, di lahan demplot (demonstration plot) seluas 5 ha milik Dislautkan, rumput laut justru dibiarkan menjadi pakan tambahan ikan bandeng di tambak. Pilihan ini dinilai lebih menguntungkan karena membantu perkembangan ikan bandeng.
Suparman menambahkan, anjloknya harga rumput laut ini juga dipicu berlangsungnya musim panen raya rumput laut di sejumlah perairan di Sulawesi. Karena pasokan melimpah, harga yang dipatok pabrik pun meningkat.
Selain itu, banyaknya hama ikan di perairan laut, serta tingginya kadar salinitas di lahan tambak kerap merepotkan petani setempat.
"Karena berbagai faktor tersebut, petani kini mulai meninggalkan budidaya rumput laut. Kami masih terus melakukan pendekatan dengan sejumlah perusahaan agar membantu petani dalam budidaya komoditas ini," imbuhnya.
( Arti)
Hasil TangkapanNelayan Pati Merosot
INFOKU, PATI- Produktivitas perikanan tangkap oleh sejumlah nelayan di Kabupaten Pati mengalami kemerosotan. Tingkat penurunan produktivitas nelayan mencapai hingga sekitar 50 persen.
Itu dipicu kondisi cuaca buruk yang menyelimuti beberapa wilayah perairan di Indonesia. Pasalnya, ketinggian gelombang air laut meninggi. Di antaranya, wilayah perairan di sekitar Pulau Madura, Laut Jawa dan Selat Makasar.
Ketua Paguyuban Pemilik Kapal di Juwana H Didik Mardiyono menuturkan, selama beberapa pekan terakhir, kuantitas produksi nelayan, maksimal hanya sekitar 2 ton per tebar jaring.
Sementara sebelumnya (saat kondisi cauca cerah), hasil tangkapan nelayan per tebar jaring bisa mencapai 5 ton. "Ini berlaku untuk semua jenis kapal, seperti purseseine, cantrang dan longline (pancing)," tandasnya, Selasa (20/12).
Terpisah, Masduki, nelayan asal Desa Bakaran, Kecamatan Juwana, mengaku, selama beberapa pekan setelah memasuki musim penghujan, hampir semua nelayan yang beroperasi di ketiga wilayah perairan itu jadi kesulitan menangkap ikan. Pasalnya, ketinggian gelombang air laut sempat mencapai lebih dari 2 meter.
"Sebenarnya, populasi ikan yang muncul ke permukaan laut masih banyak. Sebab, sekarang ini masih masuk musim ikan layang. Tetapi, karena gelombang air laut meninggi, nelayan jadi kesulitan menangkapnya," terang dia.
Selain layang, kata Didik, terkadang nelayan juga masih ada yang bisa menangkap jenis ikan lain, seperti banyar dan tonggol. Tetapi, mayoritas hasil tangkapan nelayan masih ikan layang.
Kedati demikian, menurutnya, kendala gelombang tinggi sudah biasa dialami para nelayan. Guna menghindarinya, biasanya nelayan berlindung ke pulau-pulau kecil yang terdekat dengan fishing ground (daerah penangkapan ikan).
"Daerah yang biasa dipakai untuk berteduh nelayan ketika menghindari gelombang tinggi, antara lain Pulau Matasiri dan Kerayakan (Kalimantan Selatan) atau Kangean (Madura)," tuturnya.( Rudi )
klik gambar===> baca model TABLOID