Belajar dari PILKADA DKI JAYA
70
Persen Rakyat tidak percaya PARPOL
Mungkin Pilkada DKI Jaya yang harus dijadikan acuan khusus bagi para
pimpinan Partai, baik ditingkat Kabupaten, propinsi maupun ditingkat
kabupaten/Kodya.
Tidak selamanya partai besar dan
penguasa di Legislatif bisa mempengaruhi masyarakat untuk memilih calonnya.
Saat ini
imasyarakat timbul pmiran Bagaimana Foke bisa kalah? Foke yang notabene Cagub
incumbent merupakan putra Betawi.
Demikian
halnya, pasangannya Nachrowi Ramli (Nara). Keduanya, bahkan diusung partai
koalisi. Partai Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PAN dan PKB.
Sedangkan
Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hanya diusung PDIP dan Gerindra. Jokowi
dan Ahok pun bukan warga ibukota.
Jokowi
adalah Wali Kota Solo, Ahok mantan Bupati Belitung.
Kenapa Foke-Nara tak dipilih publik Jakarta?
Ketua
Divisi Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat, Andi Nurpati berkilah kerja
partai tidakmaksimal.
Kendati
demikian, Andi mengungkapkan kekalahan jagonya lebih disebabkan faktor figur
berikut kepribadiannya.
Sang
lawan, Jokowi dinilai sosok baru yang mampu mempengaruhi keberpihakan
masyarakat.
"Meski
belum kenal Jokowi, warga Jakarta menganggap dia mampu. Berharap ada perubahan
drastis bagi Jakarta setelah ganti orang," tuturnya.
Kekalahan
dua kali berturut, mulai putaran pertama hingga putaran kedua, tak bisa dielak.
Rampung pemungutan suara, 20 September 2012, perhitungan cepat semua lembaga
survei mencatat kemenangan fenomenal Jokowi-Ahok.
"Ini pukulan telak bagi partai-partai besar.
Sosok Jokowi mampu merobohkan dominasi partai-partai besar," tegas
Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana.
Menurut
Ari, apa yang terjadi pada putaran kedua menjadi kontra proses Pilgub putaran
pertama. Di peperangan awal, banyak partai ramai-ramai mengusung isu perubahan
dan menilai Foke gagal.
Tapi pada
putaran kedua, partai-partai itu justru mengusung Foke-Nara. Kader partai pun
kecewa melihat elite partainya mendukung Foke. "Partai menjilat ludahnya sendiri. Dan, ini justru menjadi
blunder bagi Foke," jelas Ari.
Direktur
Eksekutif Pusat Kajian dan Pembangunan Strategis, Husin Yazid menilai kharisma
Jokowi melampaui partai besar. "Partai
itu tak ada di hati rakyat," tegas Husin.
Sedangkan
Direktur Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi mensinyalir banyak kader
partai pengusung Foke beralih mendukung Jokowi. Alasannya, warga Jakarta
kehilangan harapan terhadap Foke.
"Kalangan
menengah yang menjadi kunci kemenangan Jokowi, menganggap Foke gagal membangun
Jakarta.
Kalangan
ini kritis," jelas Burhanuddin. Kemunculan sosok Jokowi menjadi angin
segar bagi warga Jakarta.
Jokowi
yang sukses membangun Solo, diyakini bisa membuat Jakarta lebih baik.
"Partai- partai itu hanya perhiasan untuk tampil. Saya dukung jargon
Jokowi untuk koalisi rakyat," tegas Senator asal Jakarta, AM Fatwa.
Ia tak
bermaksud merendahkan koalisi partai. "Saya lihat ada pergeseran nilai
pemilih berdasarkan partai. Foke yang didukung partai gajah rupanya kalah. Kita
(partai-partai) bertanggungjawab untuk menyelesaikan kekurangan ini.
yakin
partai-partai yang ada saat ini sedang belajar," tutur Wakil Ketua MPR
tahun 2004-2009 ini.
Wasekjen
Golkar, Nurul Arifin mengakui koalisi partai pengusung Foke bak macan ompong.
"Koalisi partai tanpa
mempertimbangkan ketokohan (calon), ternyata seperti macan ompong.
Bagaimanapun, tokoh jadi magnet utama kontestasi politik," tegas Nurul.
Parpol
harus mengevaluasi diri. Apakah sudah benar-benar memperhatikan aspirasi rakyat
dalam menentukan calon untuk Pilkada dan tak menutup kemungkinan untuk Pilpres.
"Partai
harus sungguh-sungguh memberikan kader terbaiknya di Pilkada-pilkada. Jangan
hanya pragmatisme politik, tapi harus obyektif dalam memutuskan siapa yang akan
diusung," tuturnya.
Semua
mata memantau proses Pilgub DKI. Tak bisa dipungkiri, Pilgub DKI jadi barometer
Pemilu 2014.
"Pilkada
DKI merepresentasikan miniatur Indonesia yang majemuk dan pluralistik. Di sini
bermuara ragam etnis, golongan dan agama, sehingga pantas disebut tolok ukur
Pemilu nasional," tandas Nurul.
Guru
Besar Ilmu Politik UI ini mengungkapkan, hasil
penelitian UI tahun 2011 menunjukkan 70 persen masyarakat sudah tak percaya
Parpol. "Ini akibat perilaku anggota DPR yang mewakili partai politik
besar sering tak berpihak masyarakat," tandas Iberamsjah.
Pengamat
Politik Ray Rangkuti pun menyarankan parpol cepat berubah. "Karena pemilih
makin independen. Duit tak sepenuhnya menentukan, figur bersih dan jujur jadi
andalan," tegasnya. (Penulis Drs.Ec Agung Budi Rustanto – Pimpinan
redaksi Tabloid INFOKU – diolah dari Berbagai Sumber)
lebih lengkap baca model TABLOID
klik GAMBAR
klik GAMBAR