Jumat, 25 Februari 2011

INFOKU edisi 6 - REDAKSI - Lensa Digital - Advetorial


Klik gambar ==> baca model tabloid
Integritas Pers tak boleh Terbeli
Setiap 9 Februari, insan pers di negeri ini memperingati Hari Pers Nasional (HPN), tahun ini puncak peringatannya diselenggarakan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bersamaan dengan peringatan seperti inilah, praktisi yang mengarungi dunia jurnalisme, selayaknya meluangkan barang sejenak untuk merefleksi, berkontemplasi mengenai profesi ini.
Terlebih, pada peringatan tahun ini ada sesuatu yang istimewa dibanding sebelum-sebelumnya. Acara tidak hanya diisi dengan pameran-pameran, penyampaian penghargaan Adinegoro tetapi dicanangkan secara resmi program Sertifikasi Kompetensi Wartawan.
Program tersebut menjadi penting, mengingat dunia kewartawanan di Indonesia sekarang ini telah sedemikian pesat berkembang pascaera reformasi beberapa tahun silam.
Kebebasan pers yang luar biasa menjadikan profesi wartawan sering tanpa kendali. Yang lebih celaka, pers dengan industrinya mulai bermain-main, pura-pura lupa atau dengan sengaja mengabaikan betapa fungsi, peran dan idealisme pers itu sesungguhnya tak bisa diganggu gugat.
Ini bukan sekadar pakem namun dalam jurnalisme sejatinya terdapat dogma yang harus ditaati.
“Ah… sudahlah, sekarang ini pers (redaksi) harus menyesuaikan diri. Kita ini butuh biaya untuk menghidupi jalannya perusahaan. Cobalah kita luwes, fleksibel, keluar dari kotak tradisi (out of the box) jurnalistik,” kata kawan saya.
Bagaimana bisa? Sebab, ketika berbicara tentang jurnalisme, sesungguhnya kita sedang membahas fakta tentang kebenaran, tengah memperdebatkan fakta keadilan yang semuanya bermuara kepada moralitas, integritas dan idealisme. Di sana terdapat filosofi terdalam tentang nilai-nilai kemanusiaan.
Benar bahwa pers kita telah menjadi industri. Betul, industri pers membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit untuk menggerakkan roda bisnis. Namun semua pihak mestinya juga sadar bahwa di dalam industri tersebut terdapat nilai-nilai idealisme dan integritas yang tidak boleh terbeli.
Pada dasarnya, produk pers itu hanya ada tiga jenis, yaitu; berita, iklan dan opini. Ketiga jenis produk ini cara memperlakukan, mengelola bahkan menyiarkannya harus benar-benar dibedakan. Berita bukanlah iklan. Demikian sebaliknya, iklan bukanlah berita.
Iklan tidak boleh ditulis seolah-olah adalah berita dan begitu juga berita tidak boleh menyampaikan iklan. Demikian juga halnya dengan opini. Dia berada di ranah yang berbeda pula cara memperlakukan dan memproduksinya.
Siapa yang melarang? Begitulah kaidah dalam jurnalisme. Jurnalisme ini menyangkut segala sesuatu tentang bagaimana seseorang atau lembaga mencari, menghimpun, menuliskan dan kemudian menyiarkan sebuah fakta kepada khalayak melalui media massa. Fakta adalah kebenaran sehingga harus disampaikan secara jujur.
Itulah sebabnya, mengapa dalam perusahaan pers lazimnya terdapat dua orang pemimpin yang menangani secara khusus antara bidang usaha (bisnis) dan pemberitaan (redaksi).
Itu semua dirancang sejak dahulu agar masyarakat (konsumen) tidak bingung serta tidak tertipu dengan produk-produk yang dihasilkan industri pers. Audiens paham bahwa apa yang sedang dibaca atau disaksikan atau didengar itu adalah berita, bukan iklan atau opini.
Kompetensi & integritas
Menilik betapa pentingnya fungsi dan peran pers itulah, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, dua pakar komunikasi massa menyebut terdapat sembilan elemen jurnalisme yang menjadi tolok ukur bagi benar atau tidaknya kerja para jurnalis ketika mengungkap kebenaran dari sebuah fakta.
Kesembilan elemen jurnalisme itu menyangkut soal kebenaran yang harus dicari terus-menerus, keberpihakan kepada masyarakat, selalu melakukan verifikasi, bersikap independen, menjadi pengawas serta memantau kekuasaan, sebagai forum publik yang menampung segala pendapat, gagasan, kritik dan saran, jurnalisme harus ditampilkan secara memikat dan relevan, berita yang ditampilkan haruslah proporsional dan komprehensif serta selalu mendengarkan hati nurani.
Artinya, jelas bahwa untuk membuat berita, jurnalis harus memiliki standar kompetensi yang jelas. Karena itu, bersyukurlah insan pers dan seluruh masyarakat Indonesia atas ditetapkannya Standar Kompetensi Wartawan melalui Peraturan Dewan Pers No 1/Peraturan-DP/II/2010.
Di dalam peraturan itu dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan disepakati masyarakat pers.
Standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.
Dijelaskan pula bahwa kompetensi wartawan pertama-pertama berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Di dalam kompetensi wartawan melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita serta bahasa. Dalam hal yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita (6M).
Menyimak hal tersebut, menjadi jelas bahwa untuk melaksanakan tugas sebagai seorang wartawan yang kompeten haruslah memiliki integritas yang tinggi. Integritas sejatinya adalah kualitas, mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga seseorang memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan serta kejujuran (KBBI, 2005).
Integritas ini tentu akan sangat berkait erat dengan moralitas serta idealisme. Karenanya, diperlukan integritas dan moralitas yang sangat tinggi ketika seseorang, lembaga atau kelompok apa pun untuk menegakkan kebenaran dan menjalankan profesinya. Tidaklah salah kalau Denny Indrayana, Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, dalam sebuah artikelnya menegaskan bahwa di tengah runtuhnya moralitas penegakan hukum karena maraknya praktik mafia peradilan, integritas tak terbeli adalah satu-satunya harapan untuk terus bergerak memberantas mafia hukum.
Penjagaan integritas seperti itu harus terus dikuatkan. Bukan saja pada diri sendiri namun juga pada lingkungan tempat kita bekerja. Perlakuan yang sama tentunya harus dijalankan oleh insan pers dengan seluruh stake holder-nya. Selamat Hari Pers Nasional. - Oleh : Drs Ec. Agung Budi Rustanto Pimpinan Redaksi tabloid Infoku