Desember, Jangan Hanya Perayaan
Desember, sebuah akhir menuju awal. Banyak momentum penting terjadi pada Desember, namun semua seolah hanya diperingati sebagai sebuah seremonial belaka tanpa mengindahkan makna dan tujuannya.
Itu pun hanya diperingati oleh beberapa kalangan saja. Ada beberapa momentum yang patut mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak pada bulan Desember.
Pertama, pada pekan pertama bulan ini terdapat peringatan Hari AIDS Sedunia, sebuah momentum yang dirayakan oleh semua warga di seluruh jagat demi mengingatkan kepada semua pihak tentang penyakit yang belum ada obatnya sampai saat ini. Pada 2 Desember berbagai kegiatan yang biasa dilakukan hanya sosialisasi tentang bahaya AIDS, cara pencegahan, sampai perlakuan terhadap penderita.
Kegiatan-kegiatan tersebut biasa dilakukan oleh para aktivis kemanusiaan. Mereka mengenakan pita merah dan menyosialisasikan berbagai pesan melalui banyak media, turun ke jalan, tempat-tempat umum maupun melalui media massa.
Namun, setelah hari tersebut berakhir seolah tidak ada lagi yang memberikan perhatian, tidak ada yang tahu pula sampai sekarang apakah riset tentang obat HIV/AIDS masih terus dilakukan. Sebagian besar masyarakat hanya tahu peringatan Hari AIDS Sedunia pada tanggal tersebut.
Kedua, 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Internasional. Ini peringatan yang relevan dengan kondisi bangsa dan negara kita saat ini. Korupsi yang tinggi di Indonesia menuntut berbagai pihak memberikan perhatian lebih terhadap usaha pemberantasan korupsi.
Esensi
Momentum ini bahkan dijadikan ajang kekuatan oposisi untuk menghujat kondisi pemerintah yang karut marut akibat korupsi. Tentu saja ini dilakukan untuk mendapatkan simpati masyarakat yang telah berkurang kepercayaan terhadap pemerintah sekarang.
Ketiga, sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Pada 10 Desember 1949 umat manusia secara universal mendeklarasikan HAM. Deklarasi tersebut merupakan produk terbaik masyarakat dunia untuk melindungi harkat kemanusiaan.
Semenjak itu kebebasan HAM sudah disuarakan di seluruk pelosok negara di dunia, namun hanya dalam selang satu hari setelah peringatan, masih banyak penduduk di dunia yang belum merasakan kebebasan seutuhnya. Banyak di antara penduduk di beberapa negara merasa belum mendapatkan hak asasi yang selayaknya. Mereka merasa seolah sebagai bangsa yang terjajah.
Keempat, Bagi masyarakat Blora khususnya puncak kegiatan hari Jadi kabupaten Blora yang ke 261.
Keempat, Bagi masyarakat Blora khususnya puncak kegiatan hari Jadi kabupaten Blora yang ke 261.
Disini berbagai kegiatan baik olah raga, kirab, lomba anak sekolah diselenggarakan demi memperingatinya hari lahirnya kabupaten yang berada diperbatasan Jateng dan Jatim ini.
Kelima, momentum lainnya yang juga diperingati di bulan ini yaitu Hari Ibu. Masyarakat Indonesia setiap tanggal 22 Desember memperingatinya. Berbagai kegiatan dibuat semeriah mungkin, baik di sekolah, kantor, maupun masyarakat umum. Seakan pada hari itu masyarakat memberikan penghargaan kepada sosok ibu yang telah melahirkan, merawat dan mendidik putra-putri bangsa.
Berbagai momentum tersebut terasa meriah dan mendapatkan perhatian lebih hanya pada hari tersebut. Setelah berganti hari seolah masyarakat sudah tidak menghiraukannya. Peringatan demi peringatan pada bulan Desember layaknya sebuah acara seremonial yang wajib dirayakan tiap tahun.
Sebuah catatan penting yang patut menjadi perhatian pemerintah, aktivis dan masyarakat pada umumnya, agar tidak hanya memaknai sebuah momentum dengan perayaan semata, tapi lebih kepada esensi dan tujuan yang hendak dicapai demi perbaikan masa depan.
Selamat membuka lembaran baru pada tahun 2011. Seperti yang diinginkan Bupati Blora “Ojo Wedi Rekoso, Ayo Podo Mbangun Blora”. (Penulis Drs Ec. Agung Budi Rustanto- Pimpred tabloid Infoku)
Bertani Menuju Swasembada Pangan
Beberapa hari terakhir ini masyarakat terbebani oleh harga-harga kebutuhan pokok yang naik secara drastis.
Harga kebutuhan pokok yang mengalami kenaikan tersebut di antaranya adalah beras yang mencapai harga Rp 7000/kg, cabai yang mencapai Rp 60.000 / Kg. Sedangkan gula memang tidak mengalami kenaikan karena harganya memang sudah cukup tinggi yaitu Rp 10.000/kg.
Kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok tersebut semakin menambah beban hidup masyarakat kita dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang memang terasa sulit akhir-akhir ini. Dan yang cukup merasakan dampak kenaikan harga-harga tersebut pasti masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dapat berakibat terjadinya frustasi sosial dalam masyarakat kita.
Pemerintah sebagai pihak yang turut bertanggugjawab dalam mengontrol harga kebutuhan pokok selalu beralasan kenaikan harga tersebut disebabkan oleh gagal panen akibat cuaca ekstrem. Khusus komoditas cabai, pemerintah mengatakan kenaikan harga akibat berkurangnya pasokan cabai dari Daerah.
Hal ini membuktikan bahwa sentra produksi cabai kita masih sangat terbatas. Ketika suatu daerah sentra terkena bencana atau gagal panen maka otomatis kebutuhan pangan kita terganggu yang berakibat harga melonjak.
Guna mengatasi kenaikan harga pemerintah menambah stok beras nasional dengan cara yang normatif dan terkesan berjangka pendek yaitu dengan mengimpor 250.000 ton beras dari Vietnam. Ironis memang, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris kini tak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Beras dan cabai seharusnya merupakan komoditas yang melimpah ruah di negeri ini.
Mahalnya harga tak lepas dari keterbatasan stok dan permainan harga oleh para pedagang besar. Petani kita belum menjadi tuan di negerinya sendiri. Petani kita sampai saaat ini hanya menghasilkan produk tanpa mampu memainkan harga. Apalagi dengan produktivitas yang semakin menurun jelas menyebabkan pertanian kita semakin terpuruk.
Kenapa produktivitas beras dan produk pertanian kita saat ini tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional? Apakah faktor cuaca yang akan selalu menjadi kambing hitam? Tampaknya pemerintah harus mencari konsep lain dalam membangun pertanian kita.
Menurut saya tidak selamanya cuaca yang mesti dikambinghitamkan. Kemampuan kita memproduksilah yang menurun. Hal ini disebabkan—di antaranya—alih fungsi lahan pertanian dan menurunnya minat masyarakat kita terjun di dunia pertanian.
Petani kini dianggap profesi kurang memberi jaminan masa depan. Kita lihat banyak anak–anak muda desa (termasuk saya) yang enggan terjun ke bidang pertanian.
Propetani
Profesi petani tidak elitis dan kurang memberi jaminan kelangsungan hidup. Mereka lebih tertarik menjadi buruh pabrik atau berurbanisasi ke kota. Sedangkan gologan anak muda yang mengeyam pendidikan perguruan tinggi tidak berminat melirik pertanian. Para sarjana itu—terutama sarjana pertanian—lebih banyak bekerja di sektor perbankan, jasa dan bidang lainnya.
Propetani
Profesi petani tidak elitis dan kurang memberi jaminan kelangsungan hidup. Mereka lebih tertarik menjadi buruh pabrik atau berurbanisasi ke kota. Sedangkan gologan anak muda yang mengeyam pendidikan perguruan tinggi tidak berminat melirik pertanian. Para sarjana itu—terutama sarjana pertanian—lebih banyak bekerja di sektor perbankan, jasa dan bidang lainnya.
Akibatnya, yang tersisa adalah para petani kita yang berpendidikan rendah, kurang inovatif dan gagap teknologi. Mereka pada umumnya tidak memiliki kemampuan manajemen pascapanen. Akibatnya, ketika mereka panen, pedagang atau tengkulak yang menentukan harga. Mereka terpaksa menyetujui harga yang mungkin di bawah biaya produksi karena tak mampu menyimpan hasil panen lebih lama. Singkatnya petani kita belum mampu menjadi pemain, justru mereka adalah pihak yang sering dipermainkan.
Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan perumahan, perkantoran dan pusat perbelanjaan juga merupakn faktor yang kian menurukan produktivitas pertanian kita. Iklim usaha tani yang kurang mendukung mengakibatkan ketika para kontraktor dan pengusaha membeli tanah mereka dengan harga tinggi mereka pun menjualnya.
Kalau sudah sedemikian, apa yang mesti dilakukan pemerintah? Bukankah pilihan profesi adalah hak setiap warga negara dan menjual tanah adalah juga hak setiap pemilik tanah?
Pemerintah pusat dan daerah perlu mengkaji lagi dan membuat konsep pertanian berjangka panjang menuju swasembada pangan. Pemerintah perlu memberikan iklim usaha yang nyaman di bidang pertanian melalui kebijakan yang propetani.
Dengan iklim usaha yang nyaman melalui kebijakan propetani diharapkan generasi muda berminat terjun ke sektor pertanian, sehingga sentra pertanian tidak hanya di titik-titik tertentu, akan tetapi menyebar sehingga produktivitas kita pun meningkat.
Dalam hal ini pemerintah dapat menggandeng akademisi yang berkompeten. Desa sebagai ujung tombak pertanian mesti dikembangkan, infrastruktur mesti dibangun, dan sumber daya petani kita harus ditingkatkan melalu pelatihan dan kursus-kursus.
Tentunya hal ini bukanlah suatu hal yang semudah mengucapkannya dan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Namun, tidak ada salahnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pertanian kita jika jelas konsep dan pengawasannya.
Kemauan politik pemerintah sangat diperlukan dalam hal ini. Dengan komitmen sungguh-sungguh bukan suatu hal yang mustahil menjadikan kita kembali berswasembada pangan. - Oleh : Drs Herdiyanto (alumni Untag 1945 Surabaya) kelahiran Kedungtuban menetap di Tulung Agung Jawa Timur.
Klik gambar ===> baca model TABLOID