Senin, 25 Juli 2011

INFOKU 14 - REDAKSI


Rakyat Majikan atau Korupsi Raja ?
Tidak bisa dipungkiri kita hidup dalam dunia birokrasi. Sistem birokrasi di negara ini menunjukkan penuh kultur korupsi. Relasi negara dan rakyat adalah relasi penguasa dan yang dikuasai.
Birokrasi dipegang penguasa, sedang rakyat tunduk pada aturan yang dibuat birokrasi. Lantas, apa yang hendak dilakukan rakyat jika birokrasi sudah bobrok? Apa sekadar manut sesuai aturan birokrasi, membubarkan birokrasi, atau berusaha menuntut reformasi birokrasi? Jawabannya mungkin serba dilematis.
Karl Marx (1843) pernah mengkritik dalam esai sarkastis perihal birokrasi yang dimuat dalam Kritik des Hegelschen Staatsrecht. Menurut Marx, di dalam birokrasi identitas kepentingan negara dan identitas tujuan pribadi tertentu menjadi begitu kentara sehingga kepentingan negara menjelma menjadi tujuan dari pribadi tertentu yang bertentangan dengan tujuan pribadi yang lain.
Kritik Marx ini seperti nyata terjadi pada tubuh birokrasi negara ini. Tubuh birokrasi kita telah mengalami dekadensi luar biasa parah dari pusat sampai daerah. Kaum birokrat pada tataran pusat sampai daerah seolah berpacu menyemai kepentingan pribadi melalui tangan-tangan birokrasi yang dikuasai, tindakan koruptif pun akhirnya menjelma dan mengakar pada hampir semua elite birokrasi. Situasi ini lebih parah daripada dekadensi birokrasi yang pernah terjadi pada rezim Orde Baru selama 32 tahun berkuasa.
Sekarang tinggal pada pilihan sang Birokrat, apakah Menjadikan Rakyat sebagai Majikan atau Menjadikan Korupsi sebagai Rajanya.
Ketika reformasi terjadi, kaum mahasiswa pernah berkontribusi mereformasi birokrasi. Birokrasi negara yang bobrok akibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dikomandoi birokrasi pusat sirna kendati belum kentara pada semua tataran birokrasi. Setidaknya, komando birokrasi itu sudah ditumbangkan setelah para mahasiswa memaksa mundur otoritas penguasa tertinggi birokrasi pemerintahan, yakni Soeharto.
Pengorbanan darah dan air mata tampaknya tidak sia-sia, Soeharto pun mundur lalu digantikan Habibie. Pergantian kekuasaan ini membuktikan keberhasilan mahasiswa dalam meruntuhkan kebobrokan birokrasi yang selama ini kerap memakmurkan segelintir elite, namun menyengsarakan mayoritas rakyat. Peran mahasiswa begitu kentara, seperti dalam peristiwa Trisakti yang mengorbankan beberapa nyawa mahasiswa demi mereformasi birokrasi yang sarat korupsi kala itu.
Saat ini, birokrasi sarat korupsi muncul lebih besar dan menggurita. Para birokrat justru berjemaah berbuat korupsi. Nasib wong cilik yang hidup sederhana tampaknya belum mengundang simpati dan empati. Yang terjadi, mereka mengobral janji dan menjual diri. Kita lantas percaya dengan buaian semacam itu hanya karena “statistik” yang ditunjukkan melalui plakat media massa.
Saya pikir selama ini kita hanya menyemai birokrasi yang kaya korupsi. Mungkinkah tindakan represif mahasiswa saat tumbangnya Orde Baru bakal terjadi lagi? Mungkin sudah saatnya kaum mahasiswa berpikir ulang, bagaimana menyemai birokrasi yang miskin korupsi.
Kini, para birokrat setidaknya sadar diri. Di era reformasi ini gerakan mahasiswa tidak serepresif yang terjadi di kala Orde Baru berkuasa. Hanya frekuensinya lebih kecil. Kendati begitu, pengawasan birokrasi masih menjadi orientasi demi tegaknya visi reformasi sedari awal. Kami pun (baca: mahasiswa) mengawasi kerja birokrasi demi cita-cita luhur reformasi.
Rakyat bangkit
Mungkin saat ini rakyat masih diam. Diam bukan berarti rakyat tidak melihat. Para birokrat setidaknya merasakan hal itu sebagai suatu cermin refleksi diri. Negara yang terdiri dari pelbagai sistem birokrasi telah mengalienasi relasi negara dan rakyat. Sistem itu telah membuat sekat atau batasan antara para birokrat dan rakyat.
Hasilnya, feodalisme tampak sebagai substitusi demokrasi, yang oleh Montesqieu disebut dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Realitasnya, ada semacam stratifikasi antara pejabat/birokrat dan rakyat.
Pejabat memandang dirinya sebagai penguasa dan rakyat yang dikuasai. Itu sebabnya, mereka berlaku sekehendaknya. Jika relasi ini direpresentasi sebagai stratifikasi, rakyat akan sadar dengan sendirinya bahwa birokrasi kita telah mengalami disfungsionalisasi, dari pemakmuran menuju pembangkrutan negara akibat perilaku para birokrat yang korup.
Pembangkrutan negara yang dilakukan secara kontinyu akan menyulut bangkitnya mahasiswa dan rakyat. Ini berarti para birokrat harus secepatnya berbenah diri mengembang visi negara dan rakyat. Jika tidak, rakyat dan mahasiswa mungkin akan memaksa pembubaran birokrasi atau reformasi birokrasi seperti yang terjadi saat tumbangnya Orde Baru.
Mengemban tugas dan kewajiban di birokrasi bukanlah suatu kekuasaan, tapi sesanti dari rakyat. Detik-detik destruksi birokrasi tidak akan terjadi apabila para pejabat birokrasi mau dan mampu menjalankan janji sebagai ksatria demokrasi. Niscaya negara tidak memiliki birokrasi yang kaya korupsi, tapi birokrasi yang miskin korupsi. (Penulis : Drs Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU)