Sabtu, 08 Januari 2011

Blok Cepu - Tabloid INFOKU - edisi 4


Hasil Belum ada Gubenur Jateng Capek
INFOKU, CEPU-Komisi VII DPR RI akan melakukan peninjauan ke lokasi Blok Cepu dan mengadakan pertemuan dengan Mobil Cepu Limited, anak perusahaan ExxonMobil, operator perminyakan di sana.
Kunjungan itu bertujuan untuk mengetahui dan memperdalam permasalahan yang ada di Blok Cepu.
’’Komisi VII akan melakukan kunjungan kerja ke Mobil Cepu Limited tanggal 22 Desember,’’ kata anggota Komisi VII dari Fraksi PPP, Romahurmuzy.
Dia mengatakan, masalah perhitungan dana bagi hasil sumber daya minyak di Blok Cepu memiliki kerumitan tersendiri.
Menurutnya, jika didasarkan atas aturan yang berlaku, dana bagi hasil itu hanya diberikan kepada daerah yang memiliki mulut sumur, dimana sumber minyak telah diambil.
Namun, jika berbicara secara idealitas dari Mobil Cepu Limited (MCL) sebagai operator Blok Cepu, seharusnya dana bagi hasil itu diberikan kepada daerah yang memang memiliki sumber daya minyak itu secara adil.
Menurut Romy, MCL harus dapat melakukan perhitungan hasil produksi secara keseluruhan, bukan hanya produksi per daerah. “Namun yang menjadi masalah adalah, apakah MCLitu memiliki alat sensor untuk dapat mendeteksi berapa yang ada di daerah Blora dan berapa yang ada di daerah Bojonegoro. Saya rasa, kalau MCL memiliki itu, maka danabagi hasil tidak akan menjadi masalah,” Jelasnya.
Sebagaimana diketahui, Provinsi Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Bora, hingga saat ini belum dapat menikmati dana bagi hasil dari Blok Cepu, meskipun telah mengeluarkan dana perimbangan.
Hal tersebut disebabkan karena belum tereksploitasinya mulut sumur di daerah Blora. Pada dasarnya, masalah tersebut muncul karena adanya ketentuan dana bagi hasil yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Aturan itu menitikberatkan pembagian dana hasil kepada satu provinsi saja. Namun, pada kenyataannya, Blok Cepu tersebut berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena itu, munculah desakan agar UU tersebut direvisi.
Namun, menurut Romy, hal itu masih belum dapat dilakukan dengan segera. Sebab, untuk merevisi UU itu, harus menunggu revisi UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah rampung. ”Itu harus urut dari UU 32 baru ke UU 33. Tapi sepertinya itu sudah masuk ke prolegnas tahun 2011,” jelas Sekretaris Fraksi PPP.
Adapun anggota Komisi VII dari Fraksi PKB, Agus Sulistiyono mengatakan, pada dasarnya tidak ada alasan untuk tidak memberikan dana bagi hasil kepada Jawa Tengah, khususnya Blora. ”Ya semuanya harus adil dong,” tegasnya.
Terkait dengan rencana kunjungan kerja, pihaknya juga akan melakukan pertemuan dengan pemerintah daerah setempat dan juga kepada operator dari Blok Cepu. ”Kita akan lihat nantinya realita yang ada disana, kita akan gali semuanya untuk kita bahas nantinya,” jelas Agus.
Sementara itu, Sukur Nababan dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan, ada baiknya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mempertanyakan kepada Pemerintah Pusat, terkait dengan kejelasan dana bagi hasil itu.
Selain itu, Pemprov juga perlu melakukan audiensi dengan DPR. ”Artinya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah perlu mempertanyakan hal itu ke Pemerintah Pusat. Lalu, lakukanlah audiensi dengan Komisi VI dan Komisi VII. Dari audiensiitu, kami bisa melanjutkan lagi kepada pihak-pihak terkait,” kata Sukur.
Kementerian ESDM Sementara itu, Pemprov Jateng berpendapat dalam UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak menyebut ketentuan penghitungan dengan patokan mulut sumur dalam pembagian dana bagi hasil (DBH) sumber daya migas.
Patokan mulut sumur itu hanya interpretasi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pembagian DBH sesuai UU No 33 Tahun 2004, menurut Kepala Biro Hukum Pemprov Prasetyo Ariwibowo, harusnya mendasarkan pada wilayah kuasa pertambangan (WKP), bukan berpatokan pada mulut sumur.
”Karena itu seharusnya pemerintah memberi penjelasan lebih teknis menyangkut yang mendapat bagian bukan hanya mulut sumur di Bojonegoro tapi Blora. Sebab, WKP-nya itu WKP Cepu yang masuk wilayah Jateng,” kata Prasetyo, dalam keterangan persnya.
Jika mengacu penghitungan yang mendasarkan pada lokasi mulut sumur minyak dan gas bumi, sebagaimana ditetapkan Kementrian ESDM, problemnya sekarang ini eksplotasi minyak bumi baru dilaksanakan di sumur Banyuurip, Kabupaten Bojonegoro, Jatim.
Sementara untuk sumur minyak dan gas bumi di Blora baru memasuki tahap eksplorasi dan belum diketahui kapan akan dimulai eksploitasinya. Hal tersebut mengakibatkan dalam waktu dekat Blora maupun Pemprov Jateng belum dapat berharap banyak dari eksploitasi Blok Cepu tersebut. Padahal, berdasar peta pertambangan, dari penyedotan mulut-mulut sumur yang ada di Bojonegoro itu juga akan menyedot sumber daya alam (SDA) migas yang ada di Blora.
Kandungan sumber daya migas di Blora, terdapat 25 persen, selebihnya yang 75 persen terkandung di wilayah Bojonegoro.
”Kalau dasar penghitungannya adalah WKP, nanti juga akan berlaku sebaliknya. Jadi, misal mulut sumur di Blora itu berproduksi, hasilnya bukan untuk Blora dan Jateng namun juga Bojonegoro dan Jatim. Harusnya Jateng dan Jatim sama-sama mendapat bagi hasil sesuai prosentase kandungan migas yang telah disepakati Pemprov Jateng, Pemprov Jatim, Pemkab Blora dan Pemkab Bojonegoro, sesuai dengan saran dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI),” jelasnya.
Menurut Prasetyo, yang juga Komisaris PT Sarana Patra Hulu Cepu (SPHC), anak perusahaan PT Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPJT) yang khusus menangani Blok Cepu, kerjasama empat pihak untuk pengembangan Blok Cepu yang ada dan berlaku sampai saat ini ialah berdasar rekomendasi dari IAGI.
Kepala Dinas ESDM Jateng Teguh Dwi Paryono mengatakan, persoalan pembagian DBH tersebut sudah lama diperjuangkan, termasuk ketika Wapres Boediono ke Semarang bulan Februari 2010 lalu. Bahkan, sudah dibahas tim di Setwapres, namun sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya.
”Menurut saya itu semua bergantung political will Pemerintah pusat saja, supaya mereka bisa memahami daerah.”
Teguh mengatakan, pembagian DBH berdasar mulut sumur itu merupakan sesuatu yang lucu, sebab tidak diatur dalam Undang-undang. Patokan perhitungan berdasar posisi sumur, kata dia.
Hanya mendasarkan pada keputusan keputusan menteri. ”Jadi, mereka (Pemerintah pusat) ini mau penak agar menghitungnya gampang, namun tidak memikirkan harusnya ada pembagian yang benar.”
Ia mengungkapkan, perhitungan jumlah produk minyak yang terjual untuk pembagian DBH itu pun tidak transparan. Jateng hanya diinformasikan oleh pusat mengenai hasilnya saja, dan itu sudah berupa keputusan. Hal tersebut mengakibatkan daerah tidak dapat mengecek, dan itu tidak ada pengawasannya.
”Itu yang kita pertanyakan, sebab harusnya masing-masing daerah itu sama-sama mengecek bareng,” katanya.
Gubernur Bibit Waluyo saat dimintai keterangan kemarin mengatakan sampai sekarang hasil Blok Cepu bagi Jateng memang belum jelas. Bibit seakan capek untuk berbicara masalah tersebut. ”Aku tidak bisa bagaimanabagaimana. Saya ini kan menindaklanjuti saja program pendahulu, seperti ini apa ya mau ditulis terus. Kan 100 persen itu 45 ExxonMobil, 45 persen Pertamina, 10 Provinsi Jateng dan Jatim. Tujuh persen Jatim, tiga persen Jateng. Saiki hasilnya gak ada. Tidak ada atau belum ada saya tidak tahu. Sudahlah, capek!,” tegas Gubernur. (Ist/Agung)
 Klik Gambar ===> Baca model TABLOID