Klik gambar ===> baca modelk TABLOID
Intervensi Pemkab Blora Perlu Selamatkan Pasar
Pasar modern (hypermarket, supermarket/minimarket) kian hari kian banyak jumlahnya dan menyebar tidak hanya di pusat kota Blora namun juga ditiap kecamatan wilayah kota Jati ini.
Selain menciptakan lapangan kerja baru, pasar modern juga mematikan pasar tradisional dan toko kelontong rumahan milik rakyat kecil.
Pasar tradisional yang berimpitan dengan pasar modern disebabkan tidak ada pengaturan jarak dan zonasi.
Akibatnya, terjadi migrasi konsumen pasar tradisional ke pasar modern yang menyebabkan sepinya pembeli dan turunnya omzet pasar tradisional. Dampak negatif ini memunculkan protes keras pedagang tradisional yang menuntut pengaturan yang ketat dari pemerintah. Seperti terjadi di Ngawen beberapa waktu lalu.
Tuntutan regulasi yang berpihak kepada pedagang pasar tradisional adalah sebuah keharusan karena posisi pasar tradisional mempunyai makna yang strategis bagi ekonomi kerakyatan.
Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) mencatat tidak kurang 13.400 pasar tradisional dengan jumlah pedagang mencapai 12,5 juta orang. Jumlah tersebut bila diakumulasikan dengan jumlah anak istri dan pemasok, pihak yang terkait pasar tradisional mencapai 50 juta orang.
Melihat posisi strategis pasar tradisional dalam ekonomi kerakyatan, pemerintah telah mengeluarkan regulasi yakni Perpres No 112/2007 tentang Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dan Permendag No 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Kendati regulasi tersebut lahir sangat terlambat, pemerintah pada jalur yang benar yaitu memberikan keberpihakan kepada perlindungan dan keberlangsungan pasar tradisional.
Perpres dan Permendag tersebut menetapkan jarak permisif antara pasar modern dengan pasar tradisional yang diizinkan, zonasi, hubungan kemitraan dan jam kerja. Pertanyaannya, apakah regulasi tersebut telah terimplementasi dengan baik?
Data empiris menunjukkan bahwa banyak pasar modern kini berdiri tegak dengan di dekat pasar tradisional. Begitu juga dengan jam kerja pasar modern—buka selama 24 jam nonstop—yang berarti menabrak Perpres No 112/2007. Kondisi ini masih diperparah dengan ditabraknya zonasi, yang sebenarnya tidak boleh untuk berdirinya pasar modern, kini malah banyak minimarket beroperasi.
Sementara, pasar tradisional selalu lekat dengan kata negatif dan memprihatinkan. Kondisi pasar yang penuh sesak, becek, kotor dan sampah yang menumpuk, harus tawar menawar, faktor keamanan, risiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, adalah keluhan yang selalu muncul dari konsumen.
Kondisi tersebut diperparah dengan usia bangunan pasar yang tidak layak dan memerlukan revitalisasi. Data Asparindo menunjukkan bahwa rata-rata usia pasar tradisional di atas 30 tahun dengan kondisi memprihatinkan. Sementara sekitar 80 persen dari 13.400 pasar tradisional di Indonesia perlu revitalisasi karena usianya sudah di atas 20 tahun (Antara, 19/7/2010). Apa yang diharapkan dari pasar tradisional?
Dalam kondisi serba ketertinggalan, agar tetap survive dalam persaingan dengan pasar modern? Tanpa intervensi pemerintah, sebuah kemustahilan.
Regulasi
Membiarkan persaingan antara pasar tradisional dengan pasar modern melalui mekanisme pasar, sama saja membiarkan pasar tradisional menuju dalam jalan kematian. Oleh karenanya, pemerintah harus melakukan intervensi, dengan membuat regulasi dan aksi.
Intervensi yang dapat dilakukan dengan melakukan: pertama, mendorong pemerintah daerah segera membuat peraturan daerah yang melindungi pasar tradisional. Regulasi daerah terasa mendesak dan urgen karena tingkat hunian los dan kios pasar tradisional kian meningkat jumlahnya. Kondisi tersebut akan berpengaruh negatif terhadap retribusi daerah karena pasar tradisional merupakan aset milik pemerintah daerah dan sebagai sumber pendapatan asli daerah.
Untuk itulah Pemkab Blora menurut hemat Penulis perlu segera membuat dan menetapkan Raperda Penataan dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Dalam draf Raperda ini nantinya, Harapan penulis diatur jarak pasar modern dengan pasar tradisional harus di atas radius minimal 500 meter, dan jam operasi pasar modern tidak boleh 24 jam dalam sehari dan pasar modern tidak boleh menjual bahan-bahan pokok.
Dan sekali lagi Penulis sangat Yakin kepala Disperindakop dan UKM Blora, H Gunadi S Sos MM, yang baru saja dilantik dapat mewujudkan Perda ini.
Tindakan tegas beberapa pemerintah daerah bisa dicontoh. Pemkab Sragen dan Bantul, misalnya, membatasi 1-2 minimarket di satu kecamatan. Sementara di Denpasar, Bali pemerintah daerah menyegel tujuh minimarket dan 42 minimarket yang dalam proses karena dianggap melanggar Peraturan Walikota No 9/2009 tentang Izin Pasar Modern (Bisnis.com, 3/8/2010).
Kedua, Pemkab perlu melakukan revitalisasi pasar tradisional, mengingat usia bangunan pasar sudah tidak layak sebagai pusat perbelanjaan dan perdagangan rakyat.
Ketiga, perlunya pembinaan terhadap pedagang/pengelola pasar tradisional. Keluhan kurangnya takaran barang dan tidak adanya standardisasi barang, selayaknya bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan pencantuman label keterangan berat barang sehingga konsumen tidak dirugikan.
Melalui tiga kebijakan tersebut, kita berharap kehadiran pasar modern tidak menjadi ancaman kematian pasar modern. Justru sebaliknya, dapat menjadi mitra dalam menggerakkan perekonomian rakyat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
(Penulis: Drs Ec. Agung Budi Rustanto- Pimpinan Redaksi tabloid Infoku)