Redaksi
Tragedi Pangan Blora dan Indonesia
Memang benar apa yang dikatakan Bupati Blora, saat ditemui Infoku disela-sela pembagian Subsidi Murah Selasa (23/8) di gedung Sasana Bakti.
Bahwa saat ini petani Blora menangis karena gagal panen tahun tanam lalu. Sehingga perlu bila Pemkab Blora untuk dapat memperhatikan mereka yang saat ini, boleh dibilang krisis pangan.
Pertanyaan penulis adalah Apa memang ada krisis pangan yang layak dikategorikan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity)?
Atau benarkah krisis pangan hanya semata-mata berhubungan dengan faktor alam? Demikian gugatan sekelompok peneliti dalam diskusi terbatas yang penulis ikuti.
Kita kembali ke yang lebih luas dari Blora dengan membaca fenomena di negara ini sangat memprihatinkan.
Terbukti stigma sebagai masyarakat yang makmur sumber daya pangan seperti beras, akhirnya bergeser menjadi masyarakat bermental pengemis, atau setidaknya menunggu jiwa karitas (kebaikan hati) negara lain.
Tentu kita belum mengidap amnesia dengan kasus bargaining penukaran beras ketan dengan pesawat, dan kebijakan impor beras. Yang demikian ini menunjukkan, kita gampang mengidap krisis pangan.
Sebagai bangsa dengan sumber daya alam seperti luas areal persawahan atau perkebunan yang tidak sedikit di Jatim ini, seharusnya kita malu sama Tuhan, karena karunia Tuhan yang demikian besar belum maksimal difungsikan dan berdayakan.
Bahkan tak sedikit yang ditelantarkan sebagai tanah mati yang hanya dikapitalismekan oleh kalangan petani berdasi.. Sumber-sumber enerji yang seharusnya bisa memproduksi pangan berlimpah, yang dimatikan oleh petani berdasi yang membisniskan tanahnya, layak disebut akar kriminogen kejahatan bidang pangan publik.
Kapitalisme tanah dengan membiarkan, menelantarkan, memarkirkannya demi mengeruk keuntungan ekonomi pribadi merupakan bagian dari bentuk reduksi fungsional tanah, yang semestinya andalan pertanian dan bisa dijadikan kekuatan penyangga kebutuhan pangan masyarakat.
Ironisnya, pihak yang suka memarkir dan mereduksi fungsi tanah pertanian adalah kalangan elit kekuasaan, di samping pengembang (pengusaha). Mereka beranggapan, tanah merupakan tabungan berharga, yang jika diparkir beberapa bulan atau tahun, keuntungan ekonominya berlipat ganda.
Mereka tak ingin tanahnya dijadikan lahan pertanian, pasalnya fungsi tanah demikian dikalkulasi jauh dari menguntungkan.
Kita harusnya malu dengan negara lain yang area tanah pertaniannya sedikit seperti Jepang dan Thailand, namun bisa menyulapnya menjadi lahan subur yang bisa diandalkan jadi sumber daya pangan jangka pendek maupun panjang.
Jepang misalnya, bisa menyulap wilayah Hiroshima dan Nagasaki yang semula area beracun akibat bom atom yang dijatuhkan sekutu, menjadi wilayah pertanian yang subur yang diandalkan sebagai penopang kebutuhan pangan masyarakat.
Jepang bisa membangun kawasan subur pertanian itu tak serta merta buah dari langit, namun ada kolaborasi reformasi mentalitas antara masyarakat dengan pejabat di daerah untuk menempatkan misi agraris berbasis populis bisa terwujud dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak subur, beracun, dan mati.
Mentalitas seperti itulah yang tidak dimiliki masyarakat kita, khususnya kalangan elitnya. Elit kita bisa mempunyai cadangan pangan atau tidak pernah mengalami krisis pangan, sementara masyarakat kecil, khususnya petani penggarap, yang hidup berlepotan lumpur di sawah, justru merana hidup dalam kesulitan pangan, kekurangan gizi, dan kemiskinan.
Elit kita hanya sibuk berburu dan mengoleksi tanah, termasuk lahan pertanian sebanyak-banyaknya, sedangkan masyarakat alit (Wong Cilik) terpinggirkan menjadi objek yang terus-menerus dikorbankan oleh ketidakadilan dan ketidakmanusiawian kebijakan pembangunan.
Mereka selama ini jauh dari merasakan hidup berkecukupan pangan, apalagi masuk dalam ranah kesejahteraan sosial (social welfare).
Harapan Penulis agar para elite Blora lebih peduli pada kaum petani yang sebagian besar keluarga di Indonesia lebih diperhatikan. Sehingga apa yang digemborkan Bupati Blora menuju masyarakat Blora Sejahtera menjadi kenyataan.
(Penulis : Drs. Ec. Agung Budi Rustanto – Pimpinan redaksi Tabloid Infoku) klik gambar===>baca model TABLOID