Urai Kemiskinan Melalui Pendidikan
Inilah yang mungkin wajib dan harus dilakukan bupati Blora Djoko Nugroho untuk melaksanakan Misi dan Visinya, yang sangat ditunggu masyarakatnya.
Kita tidak usah malu meniru kota lain seperti Solo untuk sesuatu hal yang bermanfaat bagi kabupaten Blora.
Coba lihat prestasi tahun lalu, yang baru diumumkan Pemerintah RI bulan lalu diperoleh kota Solo boleh di bilang spektakuler.
Setelah memperoleh penghargaan dalam penanganan PKL secara damai dan penyelenggaraan pemerintah yang bersih dari korupsi, prestasi terbaru yang diukir adalah dijadikannya Solo sebagai daerah percontohan dalam penyelenggaraan pendidikan yang mampu merangkul kaum miskin.
Program yang dinilai suskes mengangkat pamor pendidikan Kota Solo tersebut adalah Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS) yang diluncurkan setahun lalu. Sebuah program baru yang belum begitu kelihatan hasilnya.
Untuk mengurai kemiskinan, Pemkot Solo juga meluncurkan paket Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PMKS). Sebagaimana BPMKS, dengan PKMS memungkinkan keluarga miskin bisa menikmati pelayanan kesehatan secara murah, bahkan gratis untuk pemegang kartu gold.
Sejauh ini, implementasi BPMKS dan PKMS masih menemui banyak kendala dan tersendat-sendat di jalan. Sinkronisasi antarlembaga belum terlihat. Namun demikian, karena program ini berkaitan dengan kebutuhan publik yang sangat mendasar, kesehatan dan pendidikan, sudah sepantasnya bila seluruh pemangku kepentingan turut menyukseskannya.
Sebagai tindak lanjut dari program BPMKS, Pemkot Solo mewajibkan SMP dan SMA/SMK negeri memberi jatah 10% bagi keluarga miskin dalam penerimaan siswa baru (PSB) tahun ajaran 2011/2012 ini.
Pengertian keluarga miskin mengacu pada keluarga yang memiliki kartu BPMKS. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, tidak terkecuali sekolah yang berlabel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) maupun yang berlabel akselerasi. Seperti diketahui, sekolah berlabel RSBI dan akselerasi lebih banyak dinikmati golongan menengah atas.
Untuk memastikan bahwa jatah minimal 10% benar-benar bisa dinikmati si miskin, Disdikpora Kota Solo mengeluarkan dua regulasi untuk mendukungnya. Kedua regulasi itu adalah pertama, memberi kesempatan anak-anak dari keluarga miskin untuk mendaftar lebih awal, satu pekan sebelum reguler.
Kedua, nilai rata-rata minimal rapor lebih rendah, reguler 7,5 sedangkan keluarga miskin 7,0. Permasalahannya adalah apakah regulasi tersebut sudah memadai untuk memayungi anak-anak dari keluarga miskin untuk belajar di sekolah negeri unggulan? Masalah ini perlu diketahui sebab pendidikan berkualitas diyakini sebagai salah satu jalan pembebasan untuk mengurai dan menegakkan benang kusut kemiskinan.
Perlu disadari bahwa benang kusut atau lingkaran setan kemiskinan tidak mudah diurai. Pendidikan anak-anak dari keluarga miskin kurang berhasil karena mereka hidup dalam cengkeraman kemiskinan. Sebaliknya, mereka tetap hidup miskin dikarenakan kurang berhasil dalam mengarungi pendidikan.
Maka, cara yang efektif untuk mengurai kemiskinan adalah dengan memberantas kemiskinan itu sendiri.
Semua usaha lain, melalui jalan pendidikan ataupun kesehatan, misalnya, hanya bersifat menunjang dan melengkapi. Meskipun pendidikan berkedudukan sebagai faktor penunjang, kalau ditangani secara serius akan berdampak signifikan dalam meningkatkan taraf hidup keluarga miskin.
Keseriusan itu terealisasi dalam bentuk optimalisasi layanan pendidikan terhadap seluruh peserta didik tanpa tebang pilih. Asal-usul peserta didik tak perlu jadi pertimbangan. Dipilihnya Kota Solo sebagai model pendidikan yang ramah untuk keluarga miskin merupakan pertaruhan besar yang harus dipertanggungjawabkan di depan publik.
Pertaruhan publik
Ketika sosialisasi PSB siswa tidak mampu dan berprestasi di salah satu sekolah berlabel RSBI, ada seorang peserta yang mengajukan pertanyaan cukup menggelitik.
Pertanyaannya, ”Apakah pihak sekolah juga memberikan fasilitas laptop dan pemasangan internet (di rumah) kepada peserta didik dari keluarga miskin?” Sebab, lanjut penanya, ”Konon kabarnya di sekolah ini banyak sekali tugas-tugas yang mengharuskan peserta didik memiliki kedua fasilitas tersebut.”
Sangat disayangkan, jawaban pimpinan sekolah masih mengambang. Tetapi, pada intinya, pihak sekolah tidak bersedia memberi kedua fasilitas kepada peserta didik dari keluarga miskin.
Kasus di atas, meskipun terlihat sederhana, menunjukkan titik-titik kerumitan yang bakal muncul tatkala anak-anak dari keluarga miskin berada di sekolah-sekolah unggulan yang memerlukan prasyarat tertentu untuk mengikutinya.
Meskipun uang sekolah telah dibebaskan, terutama untuk uang pengembangan dan SPP, hal itu belum memadai. Untuk menjamin anak-anak dari keluarga miskin merasa nyaman belajar di sekolah unggul, keinginan baik pemerintah (political will) tidak cukup. Yang justru lebih strategis terletak pada keharusan adanya perubahan budaya para pengelola sekolah, baik kepala sekolah maupun pendidik .
Johannes Muller (Prisma,1980:42-52) sejak dini memperingatkan bahwa kehidupan anak-anak dari keluarga miskin memiliki karakteristik khas. Mereka pada umumnya di bawah kolong langit yang berkabut: mulai dari proses pendewasaan, sosialisasi dalam keluarga, keterbatasan pendidikan orang tua, kebutuhan nutrisi, hambatan bahasa dan yang paling parah, mereka hidup dalam suasana “kebudayaan bisu”.
Karena dibesarkan dalam dunia yang demikian, tidak aneh jika mereka sangat sensitif terhadap isu-isu tertentu, terutama yang mengarah pada hal-hal yang bersifat pribadi.
Di bagian lain, hasil riset Michael Fullan (1993) menunjukkan bahwa para pendidik cenderung memiliki harapan yang lebih rendah terhadap anak-anak dari keluarga miskin.
Padahal tingkat harapan atau ekspektasi guru dalam mengajar berbanding lurus dengan tingkat keberhasilan belajar peserta didik. Kalau kita asumsikan bahwa penelitian Fullan juga berlaku untuk guru-guru di Indonesia, khususnya di Solo, ini menjadi rambu-rambu yang penting untuk diperhatikan.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa usaha mengurai kemiskinan lewat pendidikan bukanlah pekerjaan ringan tapi sebuah jalan terjal berlubang yang penuh tantangan.
Tanpa pemahaman yang memadai tentang karakteristik anak-anak keluarga miskin, usaha merangkulnya justru akan menjadi bumerang dan kontraproduktif. Membuka ruang bagi anak-anak keluarga miskin bukan sekadar untuk menabiri upaya menarik uang sebanyak-banyaknya dari masyarakat.
Pekerjaan besar menunggu di depan mata pengelola sekolah untuk membangkitkan ekspektasi guru-guru agar memiliki penilaian yang rasional dan empati terhadap seluruh peserta didik. Tidak peduli dari keluarga kaya ataupun miskin, yang mampu membayar uang sekolah ataupun gratis, anak-anak yang menenteng laptop ataupun tidak. Mereka semua adalah peserta didik yang harus dididik dengan penuh cinta kasih seorang guru terhadap murid.
Bila dirunut ke belakang, program BPKMS lahir setahun lalu menjelang Pilkada Kota Solo yang dimenangkan pasangan Jokowi-Rudy secara mutlak. Tidak bisa dipungkiri bahwa program ini tidak lepas dari janji-janji kampanye mereka berdua tentang pendidikan gratis.
Oleh karena itulah, usaha merealisasikan janji itu merupakan pertaruhan besar Pemkot Solo. Bila gagal, ia akan tercatat dalam lembaran hitam masyarakat Solo sebagai suatu kebohongan publik yang sulit dimaafkan.
Demikian juga di Blora semoga Bupati Djoko Nugroho dan Wabup H Abu Nafi dapat mewujudkan Visi dan Misinya khususnya bidang Pendidikan yang tak lama lagi akan menghadapi Penerimaan Siswa Didik yang baru.
(Penulis : Drs.Ec.Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid Infoku)