Perlukah Revolusi Libur Nasional
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 03/M.PAN-RB/05/2011 tentang Penetapan Cuti Bersama tanggal 3 Juni 2011, ditanggapi beragam oleh masyarakat.
Sebagian masyarakat menyambutnya sebagai kearifan pemerintah, sebagian menganggapnya sebagai pemborosan dan inefisiensi. Sebagian yang lain memandangnya sebagai cerminan sikap malas aparat penyelenggara pemerintah. Sikap serupa telah ditunjukkan pemerintah dengan keputusan sekonyong-konyong menetapkan cuti bersama 16 Mei 2011.
Kasus kedua ini mengundang reaksi yang lebih beragam, karena banyak pemerintah daerah yang tidak sempat menginformasikan kepada satuan perangkat kerja daerah (SKPD), sehingga ada instansi yang meliburkan pegawainya ada pula yang tidak. Reaksi paling keras justru datang dari pihak swasta.
Sektor jasa, sektor usaha perdagangan, sektor nonformal dengan segala macam usaha dan sebagainya terperangah dengan keputusan pemerintah tersebut.
Mereka yang sudah telanjur membuat perencanaan, agreement dan sejenisnya segala sesuatu telah dipersiapkan dengan matang harus dibatalkan.
Mereka bukan saja menanggung kerugian finansial yang sangat besar, tetapi juga kepercayaan dari mitra usaha.
Kebijakan pemerintah tersebut perlu dikaji ulang. Inisiatif menetapkan cuti bersama pada hari-hari kejepit tampak sangat dipaksakan.
Kalau pemerintah memiliki program kerja dan perencanaan yang baik, mestinya pengaturan hari libur dan cuti bersama ditetapkan sejak awal tahun, sehingga tidak memberikan kesan pelaksana negara dan aparatur pemerintah betul-betul dipilih karena keahliannya.
Mengapa mesti terkesan mendadak dan dengan alasan yang bodoh ketika menetapkan hari libur dan/atau cuti bersama? Di negeri ini masih banyak instansi pemerintah maupun swasta yang menerapkan enam hari kerja, sehingga mereka tidak dapat menikmati libur panjang atas ”budi baik” pemerintah tersebut di atas. Dalam hal ini justru dimungkinkan memberikan peluang orang-orang pemalas memanfaatkannya sebagai ”Hari Mangkir Nasional”.
Konsep cuti bersama pada hari kejepit itu sebenarnya terinspirasi anak sekolah (pelajar dan mahasiswa) tempo doeloe yang tinggal di rumah indekos dan/atau komunitas komuter yang memiliki sikap malas.
Ketika itu sarana transportasi masih tergolong mahal dan frekuensinya jarang, sehingga mereka terdorong memanfaatkan peluang hari kejepit untuk mangkir sekolah, kuliah, atau kerja.
Mereka menginginkan efisiensi biaya perjalanan dan biaya hidup pada hari kejepit tersebut, di samping keinginan berlibur lebih panjang dan berkumpul dengan anggota keluarga lebih lama. Kalau sikap seperti itu kemudian diterapkan pada sistem pemerintahan itu pelayan publik maka publik yang dirugikan.
Hal tersebut sekaligus menggambarkan ada pejabat-pejabat publik yang masih kental dengan kebiasaan buruk sebagaimana ketika berstatus anak sekolahan. Menteri Koordinator Kesejahteraan rakyat (Menkokesra), Agung Laksono, berkomentar dengan cuti bersama dan libur panjang, pegawai/pekerja dapat mengisi hari-hari liburnya dengan kegiatan-kegiatan bersama keluarga, dapat menggeliatkan sektor swasta dan meningkatkan pariwisata.
Anggapan itu menggambarkan betapa tidak pahamnya pejabat tinggi terhadap kehidupan masyarakat di bawahnya. Janganlah mengira dengan libur panjang masyarakat dapat membelanjakan uang di tempat rekreasi bersama keluarga atau shopping di mal dan supermarket. Banyak di antara pegawai/pekerja penghasilanya belum mencapai garis minimal untuk mencukupi kebutuhan hidup. Bahkan dimungkinkan karena instansi/perusahaan tempat bekerja meliburkan pegawainya, pegawai yang digaji harian justru kehilangan daya hidup pada hari-hari itu.
Cuti bersama
Cuti bersama
Hari libur permanen yang diterapkan pemerintah selama ini paling tidak sejak masa kepresidenan Gus Dur sebanyak 14 hari. Apabila ditambah hak cuti pegawai pemerintah dan/atau swasta 12 hari kerja setiap tahun, maka jumlah hari bebas bekerja adalah 26 hari.
Ini setara dengan satu bulan kerja untuk instansi yang memberlakukan enam hari kerja dan satu bulan satu pekan bulan untuk instansi yang memberlakukan lima hari kerja (dengan asumsi satu bulan 22 hari kerja).
Kalau dicermati, pada hari libur nasional keagamaan yang mengakomodasi umat Islam, seperti Hari Maulud Nabi Muhammad SAW (satu hari), hari Isra’ Mi’raj (satu hari) dan Tahun Baru Muharam (satu hari), kaum muslim tidak melakukan ritual khusus pada hari-hari tersebut.
Seandainya umat Islam tetap beraktivitas seperti hari-hari bisa, memurut penulis yang juga beragama Islam, tidak merugikan karena tidak ada ritual khusus pada siang hari tersebut.
Hari libur tersebut perlu dipikirkan ulang untuk dijadikan hari kerja nasional. Berbeda halnya dengan hari Idul Fitri (dua hari) dan hari Idul Adha (satu hari), di mana umat Islam menyelenggarakan ritual khusus pada pagi hari. Kedua hari raya itu memang harus ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Sedangkan hari yang bertepatan dengan Tahun Baru Masehi dan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Negara Repulik Indonesia (masing-masing satu hari) dianggap sebagai hari besar bersama bangsa Indonesia, dan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Bangsa-bangsa lain pun menganggap kedua hari itu sebagai hari raya.
Gagasan ini tidak perlu disikapi dengan berpikir diskriminatif dan tidak pula dipandang sebagai pemicu sikap rasialis. Justru dengan pengubahan pengaturan dan penetapan hari libur ini menjadikan ”keseimbangan” akomodasi libur nasional yang bersifat keagamaan, terutama penganut dua agama terbesar di negeri ini.
Tampaknya gagasan ini terasa mengada-ada dan terkesan ngowah-owahi adat, ngayawara, neka-neka dan sebagainya. Tetapi, kalau pemerintah mau meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, meningkatkan efisiensi, produktivitas, pendapatan perkapita dan pendapatan negara, perlu diadakan perubahan dalam menata dan mengatur sistem hari kerja.
Bila perlu jumlah jam kerja yang selama ini dibebankan kepada pegawai pelayanan publik ditambah, sehingga tidak ada penumpukan pekerjaan seperti yang terjadi di lembaga-lembaga yudikatif.
Kalau hal ini dapat dilakukan, tidak ada penundaan hak publik untuk mendapat layanan. Artinya betul-betul pemerintah itu pelayan rakyat, abdi masyarakat. Tidak berhenti pada slogan semata.
Mengapa harus revolusi? Jawabannya karena semua perubahan dari sesuatu yang dianggap mapan, pasti ada faktor pendukung dan penghambat.
(Penulis: Drs. Ec.Agung Budi Rustanto – Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU)
klik gambar ====>baca model TABLOID