Sabtu, 20 November 2010

Infoku - R E D A K S I - halaman 2



Jawara Pengharum Bangsa

Prestasi membanggakan ditorehkan anak-anak negeri ini dalam Olimpiade Fisika Internasional di Kroasia, baru lalu.
Empat medali emas dan satu medali perak berhasil diraih oleh tim Olimpiade Fisika Indonesia. Sayang, prestasi gemilang itu seakan tak ada gaungnya. Sambutan pemerintah terlalu dingin dan minim.
Kami yakin masih banyak jawara-jawara sains lainnya yang siap untuk mengharumkan nama bangsa dan negara. Dan mereka adalah generasi penerus bangsa yang masih punya harapan dan kesempatan yang sangat luas untuk menggapai cita-cita. Namun, tak sedikit karena fasilitas dan kendala dana. Akankah kemampuan gemilang itu harus terkubur?  -Redaksi-



Redaksi berbicara
Sertifikasi Hanya Mengejar Materi ?

Setelah 65 tahun bangsa Indonesia, pendidikan di negeri ini masih terpuruk. Mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan pemerintah melakukan amendemen UUD 1945. Mengalokasikan 20 persen anggaran untuk bidang pendidikan yang diprioritaskan untuk pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Langkah tersebut diambil bukan tanpa alasan. Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0,935 yang berada di bawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965).
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara, jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya kompetensi dan profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %.
Upaya untuk mendongkrak kompetensi dan profesionalisme guru pemerintah mencanangkan program sertifikasi guru. Mekanisme dan alat penilaian dalam sertifikasi diatur dalam Permendiknas No 18/2007 yaitu dilakukan melalui penilaian portofolio yang mencakup 10 komponen, yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial serta penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Timbulkan kecemburuan
Kebijakan melalui penilaian portofolio ini menuai pro dan kontra. Banyak pihak yang mempertanyakan dan menyangsikan. Apakah guru yang dinyatakan lulus sertifikasi otomatis layak disebut guru profesional?
Pertanyaan ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Sebab tidak sedikit guru yang dinyatakan profesional, kinerja mereka biasa-biasa saja. Tidak ada perubahan yang mendasar dalam menjalankan tugas selaku pendidik maupun selaku pengajar. Perubahan yang mencolok hanya satu, mereka sekarang lebih sejahtera dan lebih makmur secara materi. Hal inilah yang sering memicu timbulnya kecemburuan sosial bagi guru yang belum memiliki kesempatan mengikuti sertifikasi.
Dalam sebuah situs web yang sempat penulis baca, ada ”guru mencibir guru”, atau ”guru mencibir kepala sekolah”. Mereka yang mencibir, tentu ada yang berlatar belakang rasa iri, tetapi tidak sedikit yang objektif. Guru mencibir guru, karena perolehan sertifikat dan pembaiatan sebagai guru profesional yang diraih seseorang, sangat kontradiktif dengan keadaan sehari-hari, baik sisi pribadi, sosial, pedagogis, maupun profesional.
Adapun guru mencibir kepala sekolah, karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kepala sekolahnya tidak mampu mengelola sekolah. Ia juga tidak pernah mau mengajar, walau ada kelas kosong sekalipun. Sungguh tidak elok, apabila seorang guru, yang kemudian bergelar guru profesional dengan tunjangan satu kali gaji pokok, tetapi mengajar pun tidak pernah. Apanya yang profesional?
Ditinjau ulang
Melihat fenomena tersebut, penulis sangat mendukung rencana Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Prof Dr Boedowi MSi yang akan meninjau ulang serta menyempurnakan sertifikasi guru, khususnya menyangkut penilaian portofolio (SOLOPOS, 17/9).
Mengapa demikian? Bukan rahasia lagi bila penilaian portofolio berbasis pada bukti fisik dan administratif. Di negeri ini, bukti fisik, seperti sertifikat, piagam dan sejenisnya sangat mudah dibuat atau dicari-carikan. Potensi kecurangan sangat besar. Apalagi karakteristik orang Indonesia yang akrab dengan budaya ewuh-pekewuh menjadikan pencarian lembaran-lembaran berkop tersebut sangat mudah
 Di samping itu, bukti-bukti tertulis yang terkumpul sangat sulit diverifikasi. Anda bayangkan. Bagaimana cara pembuktian seorang telah mengikuti dan aktif dalam sebuah organisasi masyarakat, forum ilmiah? Tentu tidak mudah bukan?
Tidak mengherankan bila pelaksanaan penilaian portofolio ini, menimbulkan permasalahan pelik. Peserta sertifikasi berupaya mendapatkan nilai tinggi dengan mengumpulkan beberapa berkas-berkas tadi. Guru dengan masa kerja lebih 20 tahun dan telah memiliki ijazah pendidikan S1 ataupun D4, berlomba-lomba mengumpulkan setumpuk kertas ke Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK). Dengan susah payah, mereka meninggalkan jam sekolah dan mengurus segala keperluan guna mengikuti sertifikasi. Ini sungguh ironis.
Sebagian guru memandang bahwa sertifikasi semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan. Padahal guru sebenarnya identik dengan mendidik dan mengajar. Seharusnya bukti guru yang kompeten dan profesional adalah dia mampu merancang serta mengelola pembelajaran secara efektif dan dapat dijadikan panutan.
Orang Jawa mengatakan guru akronim dari kata-kata digugu lan ditiru. Semakin baik perencanaan serta pengelolaan pembelajaran, dapat dipastikan semakin baik pula kualitas produk-produk pendidikan yang telah dia kelola. Ruh dari proses pembelajaran tersebut tentunya tidak bisa dilihat bila kita hanya mengandalkan penilaian portofolio semata.
Sertifikasi dengan model portofolio menjebak guru pada lingkaran kompetensi administrasi yang penuh dengan manipulasi. Mereka akan selalu berkutat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya normatif. Bukan lagi pada pengembangan metode pembelajaran di kelas. Guru akan terus mengumpulkan portofolio dan bukan berusaha mengembangkan diri untuk kegiatan pembelajaran yang bermutu.
Guru yang sudah sertifikasi mendapat tunjangan profesi satu kali gaji, sementara sebagian lainnya belum. Padahal kewajiban untuk melaksanakan proses belajar mengajar adalah sama. Kondisi tersebut berdampak pada konflik horizontal antarguru. Jika memang tujuan dari sertifikasi guru adalah memberikan kesejahteraan bagi guru, mengapa tidak semua guru mendapat tunjangan yang sama?
Tulisan ini tidak bermaksud menentang pelaksanaan sertifikasi guru, namun sekadar mengingatkan bahwa pemberian tunjangan sertifikasi bukan tujuan utama. Tunjangan diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada guru yang betul-betul kompeten dan profesional. Tunjangan harus diberikan tepat sasaran. Bukankah demikian? Bagaimana pendapat Anda? (Penulis Drs. Ec. Agung Budi Rostanto – Pimpred tabloid Infoku)