Selasa, 31 Januari 2012

GAGASAN REDAKSI - infoku 24

Keuangan Otonomi Daerah dan Suku Bunga Bank
DI ERA otonomi daerah saat ini, menjadi pemimpin atau kepala pemerintah daerah boleh jadi tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Dulu, sebelum ada otonomi itu, daerah memang tak bebas mengatur dirinya sendiri, namun para pemimpinnya bisa tidur nyenyak karena tidak ada ancaman apa pun.
Di era reformasi saat ini, ternyata kondisinya sungguh tak seenak yang dibayangkan. Pasalnya, terbetik kabar, pemerintah pusat tengah mengkaji kemungkinan pemberian sanksi kepada pemerintah daerah (pemda) yang dianggap lalai dalam memberikan pelayanan kepada publik, minimal terhadap masyarakat setempat.
Kebijakan ini, konon, untuk memastikan pemda menggunakan anggaran daerah (APBD) sesuai dengan peruntukan.
Dengan adanya sanksi tersebut, diharapkan bisa memperbaiki kualitas dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah.
Sanksi itu akan dikenakan kepada daerah yang tidak bisa memenuhi target minimal pelayanan dasar sesuai ketetapan pemerintah pusat.
Dimulai dari soal kualitas APBD-nya, perencanaan antara RKP (rencana kerja pemerintah) pusat dan RKP provinsi, hingga prioritas orientasi penggunaan anggarannya.
Kalau ditelisik sedikit ke belakang, kemungkinan munculnya wacana pemberian sanksi kepada pemda itu dipicu oleh berkembangnya pemberitaan bahwa Bank Indonesia (BI) mencatat ada sejumlah dana milik pemda yang menganggur di perbankan mencapai Rp 90,96 triliun.
Celakanya, oleh bank-bank, termasuk bank pembangunan daerah (BPD), dana tadi ”diparkir” di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Pertanyaan di masyarakat dari dana yang diparkir tersebut kemana suku bunga yang didapat dari itu ?
Padahal, jika digelontorkan ke sektor riil melalui pemberian kredit, dana itu diharapkan bisa menggerakkan roda perekonomian dan mengurangi beban BI yang harus menanggung bunga SBI.
Tingginya dana SBI dari ”kontribusi” penempatan dana oleh kalangan BPD mencerminkan rendahnya daya serap APBD.
Untuk itulah, pemerintah pusat melalui Depkeu menyusun standar pelayanan minimum, di antaranya mencakup bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian.
Adapun standar teknis yang harus dipenuhi setiap daerah ditentukan oleh masing-masing departemen terkait.
Dari situ, kelak akan bisa diketahui apakah pemda-pemda mampu memenuhi targetnya atau tidak, termasuk indikator penyerapan anggaran dan ketepatan menyerahkan APBD.
Beberapa indikator lain yang akan dipakai adalah kemampuan pemda mencapai target kuantitatif yang ditetapkannya sendiri.
Contohnya, target pertumbuhan ekonomi, mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan.
Sejauh ini memang belum bisa diungkapkan jenis sanksi yang akan diterapkan karena Depkeu tengah berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri terkait hal itu.
Di mata pemerintah, pemberian sanksi adalah langkah kedua setelah pemerintah pusat membekukan sementara 25% DAU terhadap daerah yang telat menyerahkan APBD.
Kebijakan  ini, yang kemungkinan diterapkan tahun depan, juga untuk menjaga mutu APBD pasca-pembekuan.
Yang menarik, kebijakan sanksi ini akan diimbangi pemberian hadiah (reward) bagi pemda yang dinilai berkinerja baik atau memenuhi target-target yang ditetapkan. Bentuk hadiah kemungkinan berupa dana langsung.
Sebenarnya, pendekatan stick and carrot ini cukup fair diterapkan kepada seluruh pemda.
Maklum, masalah masih tingginya dana pemda di SBI telah menyulut perhatian kalangan DPR.
Dewan berharap pemerintah dan BI mesti bertindak nyata terhadap pemda-pemda yang masih saja menyimpan dananya di perbankan.
Di mata DPR, BI tidak bisa tinggal diam dengan membiarkan dana pemda ada di perbankan, sebab dana itu adalah milik publik yang harus kembali ke publik dalam bentuk kredit.
Dengan demikian harus ada mekanisme yang mengatur agar dana itu tidak berdiam lama di perbankan.
Menteri Keuangan mengaku tidak bisa berbuat banyak mencegah penempatan dana milik pemda di perbankan.
Penyebabnya, desentralisasi daerah telah memberikan kewenangan kepada pemda untuk mengelola keuangan sendiri.
Menurut Menkeu, pihaknya juga tidak bisa menunda pencairan DAU setiap bulannya.
Sebagaimana dikutip berbagai media cetak, dijelaskan bahwa setelah ditransfer, pemda berhak memanfaatkan dana tersebut sesuai kebutuhan mereka, termasuk menempatkannya di deposito ataupun instrumen keuangan lain yang dapat memberikan tambahan penghasilan daerah.
Di sini persoalannya, kalau kemudian BPD-BPD menaruh dana tadi ke SBI, tentu pemda tidak bisa disalahkan.
Demikian pula BPD-BPD-nya, tidak bisa disalahkan juga. Namun, yang disayangkan adalah optimalisasi penggunaan anggarannya yang terhambat.
Salah satu faktornya adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM), sehingga pemda tidak siap dan sigap dalam menyikapi perubahan kebijakan pusat yang cepat.
Kondisi itu mengakibatkan perencanaan anggaran di daerah berjalan tidak efektif, bahkan cenderung inefisien.
Padahal, UU Otonomi Daerah seharusnya dapat memberi keleluasaan kepada pemda untuk mengatur anggarannya sendiri.
Tetapi karena prinsip taat asas, daerah hanya diizinkan melakukan kreasi anggaran dengan tidak menentang aturan pusat.
Satu peluang terluas yang banyak dilakukan pemda adalah meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), yang menjadi lambang keberhasilan pemda dalam menjalankan otonomi daerah.
Dalam perkembangannya, muncul sinyalemen bahwa lambannya penyerapan anggaran tidak lepas dari keterlambatan pengesahan APBD.
Keterlambatan itu sendiri disebabkan sulitnya pemda menyesuaikan pola baru pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada anggaran kinerja.
Makanya, Depkeu menegaskan mulai tahun depan pemda harus mempercepat penyusunan APBD sehingga paling lambat setiap Februari sudah diserahkan kepada pusat.
Di mata pemerintah pusat, pada dasarnya tidak ada peraturan pusat yang menjadi kendala atas kelambatan pengesahan dan penyerahan APBD.
Buktinya, banyak daerah yang sudah mengesahkan APBD setiap Desember sehingga hal itu mencerminkan kerja sama yang baik antara pejabat daerah dan DPRD.
Bagi daerah yang terlambat menyerahkan APBD, solusinya adalah Depkeu dan Depdagri melakukan koordinasi untuk mencegah keterlambatan pengesahan APBD oleh daerah.
Sementara untuk mendorong belanja daerah, sistem pemberian reward dan penalty (sanksi) harus diberlakukan untuk merangsang kreativitas pemda.
Untuk mengatasi keterlambatan penyerahan APBD dan penyerapan anggaran yang rendah, pemerintah tidak mempunyai aturan khusus tentang hal itu.
Permasalahan tersebut sebetulnya dapat teratasi jika pemda mampu menyelesaikan APBD tepat waktu.
Idealnya, pemda dapat menyelesaikan APBD paling lambat Desember atau Januari. Dalam kenyataannya, banyak APBD yang baru disahkan April atau Mei sehingga pengeluaran non-gaji tidak bisa direalisasikan.
Di sisi lain, pemerintah akan membatalkan berbagai peraturan daerah (perda) yang dinilai bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat.
Kendati begitu, harus diakui, pemerintah tidak bisa cepat menyisir seluruh perda yang dibuat pemda, mengingat jumlahnya ratusan hingga ribuan.
Kalau mereka menyalahi aturan di tingkat atasnya dan tidak konsisten, pemerintah pusat bisa membatalkannya demi kepentingan publik.
Kelak, jika RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dapat disetujui, maka akan membatasi pemda dalam membuat berbagai macam pajak dan pungutan tidak resmi.
Untuk itu, pemda diminta meningkatkan basis pendapatan asli daerah (PAD) sehingga dapat melakukan manuver yang brilian dalam melaksanakan kebijakan fiskalnya.
DPR juga menyetujui kemungkinan sanksi tegas bagi daerah yang hingga kini masih lambat dalam membelanjakan dananya untuk kepentingan publik.
Oleh karena itu, DPR hanya bisa meminta agar pemerintah bersikap tegas terhadap daerah-daerah yang mengendapkan dana itu.
Pemerintah pusat harus menyerukan agar semua daerah menggunakan anggarannya seefektif dan seefisien mungkin sesuai tata tertib dan disiplin anggaran.
Yang juga menarik, DPR menyoroti soal tindakan reaktif yang dilakukan aparat penegak hukum di daerah.
Makanya, DPR meminta aparat penegak hukum di daerah agar tidak terlalu reaktif dalam menegakkan hukum.
Diakui, salah satu penyebab pemda ragu dan takut menggunakan dana adalah karena perilaku penegak hukum yang terlalu reaktif.
Kalangan pejabat pemda gamang menggunakan dana yang ada karena takut disalahkan dan dipidanakan.
Akhirnya, semoga polemik soal penempatan dana pemda ke perbankan yang kemudian ditempatkan ke instrumen SBI dapat berhenti seiring dengan agresifnya pemda-pemda dalam membelanjakan anggaran untuk menggerakkan sektor riil bagi pertumbuhan ekonomi daerah.(Penulis: Drs. Ec Agung Budi Rustanto - Pimpinan Redaksi tabloid INFOKU)
 klik gambar====>baca model TABLOID

INFO PARLEMEN - infoku 24

Mantan Kasek Datangi DPRD-  Desak Revisi Perbup
INFOKU, BLORA- Sejumlah mantan kepala sekolah (Kasek) SD yang tergabung dalam Forum Solidaritas Mantan Kepala Sekolah (FSMK) mendesak Bupati Blora, Djoko Nugroho, merevisi Peraturan Bupati (Perbup) nomor 63 tahun 2011.
Perbup tentang Penilaian Kinerja Kepala Sekolah itu dinilai merugikan para guru. Pasalnya Perbup tersebut tidak memuat klausul tentang publikasi hasil penilaian kinerja kepala sekolah.
''Kami meminta bupati merevisi perbup tersebut,'' ujar Mujiyono, salah seorang mantan kepala sekolah (kasek) SD, dalam surat tuntutan yang disampaikan pula kepada DPRD Blora, Sabtu (7/1).
Sejumlah kepala sekolah menyampaikan keluh kesah lantaran tak lagi menduduki jabatan sebagai kasek.
Padahal mereka merasa masih memiliki kemampuan termasuk berprestasi sehingga layak kembali menjadi kasek.
 ‘’Saya didholimi. Saya tidak mempunyai masalah apa-apa, politik atau ada yang tidak suka kepada saya, saya tidak tahu.
Tahu-tahu dalam pengumuman, saya tidak lagi menjabat kepala sekolah. Padahal banyak yang mengatakan saya masih layak.
Itu antara lain didasarkan pada prestasi maupun kemampuan saya,’’ ujar Hj Marliyah mantan Kasek SDN 2 Cepu.
Panjang lebar dia menceritakan nasib yang dialaminya kepada para anggota DPRD Blora termasuk Wakil Ketua DPRD, H Dasum.
Hj Marliyah pun tak kuasa menahan air mata di penghujung curahan hati (curhat) nya. ‘’Saya ikhlas.
Saya mendukung pemberlakukan peraturan bupati (perbup), asalkan perbup itu dilaksanakan dengan baik,’’ katanya.
Perbup yang dimaksud itu antara lain mengatur periodisasi jabatan kepala sekolah.
Dalam penerapan periodisasi itu kasek yang telah menjabat delapan tahun, dapat diangkat lagi menjadi kasek jika berdasarkan evaluasi memiliki kinerja dan prestasi bagus.
Kasek yang diberhentikan kembali menjadi guru. Hanya penilaian kinerja dan prestasi itu tidak jelas lantaran tidak diumumkan secara terbuka.(Endah/AM)


Anggota DPRD Pesimis APBD Ditetapkan Cepat
INFOKU, BLORA- Ternyata Tidak semua anggota DPRD Blora optimis APBD 2012 bisa ditetapkan dengan cepat.
Sesuai jadwal yang dibuat Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Blora, penetapan APBD ditargetkan pada 31 Januari.
‘’Saya justru pesimis target penetapan APBD 2012 bisa ditepati,’’ tandas Yulianto, salah seorang anggota DPRD Blora, Selasa (10/1).
Dia beralasan dalam pembahasan APBD terkadang berlangsung alot dan tidak jarang diwarnai tarik ulur kepentingan.
''Dalam pembahasan APBD itu terkadang penuh intrik,'' tandasnya. ‘’Kalau sudah terjadi seperti itu, waktu pembahasan hingga penetapannya bisa lebih lama lagi,’’ tambahnya.
Pernyataan Yulianto itu cukup beralasan. Selain kerap diwarnai kepentingan dalam penganggaran, pembahasan APBD butuh ketelitian.
Sehingga memerlukan waktu cukup lama untuk penyelesaian pembahasan. Apalagi hingga kini persetujuan bersama Kebijakan Umum Anggaran serta
Perhitungan Plapon Anggaran Sementara (KUA PPAS) RAPBD 2012 belum dilakukan Pemkab dan DPRD. KUA PPAS adalah dokumen awal pembahasan APBD.
Padahal untuk sampai pada penetapan APBD terlebih dahulu harus dilakukan sejumlah rapat paripurna.
Mulai dari penyampaian nota keuangan, pemandangan umum fraksi, jawaban bupati atas pemandangan umum fraksi hingga sikap akhir fraksi terhadap RAPBD.
''Namun bisa saja rapat paripurnaitu berlangsung cepat. Asalkan ada niat serta komitmen. Niat dan komitmen itu dilakukan  DPRD maupun Pemkab Blora,'' kata Yulianto.
Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Blora, Achmad Lukman, meminta para anggota Dewan disiplin dalam menjalankan agenda kegiatan yang jadwalnya sudah ditetapkan.
 Menurutnya berdasarkan hasil rapat Banmus DPRD terkait jadwal pembahasan APBD 2012 beberapa waktu lalu telah disepakati penetapan APBD diupayakan maksimal pada 31 Januari 2012.
‘’Agenda kegiatan pembahasan APBD sudah disepakati, karena itu kami minta pada anggota Dewan melaksanakan jadwal tersebut dengan baik,’’ katanya. 
Terkait jadwal penetapan APBD 2012 maksimal pada 31 Januari dikemukakan pula Ketua Komisi B, Subroto.
Hanya dia mengatakan untuk sampai pada tahap penetapan itu terlebih dahulu harus dilalui prosesnya. Diantaranya pembahasan di tingkat internal Dewan maupun bersama Pemkab.
‘’Tentu saja prosesnya harus dilalui dulu dan itu membutuhkan waktu,’’ tandasnya.
(Endah/AM)
 klik gambar===>baca model TABLOID

SEMARANG & GROBOGAN infoku 24

Ketua DPRD Penuhi Panggilan Kejari
INFOKU, GROBOGAN–Setelah dipanggil dua kali tidak datang karena sakit, Ketua DPRD Grobogan M Yaeni SH akhirnya memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwodadi, Kamis (5/1). 
Yaeni yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pemeliharaan mobil dinas Sekretariat Dewan (Setwan) Grobogan tersebut  diperiksa hampir tiga jam di ruang Kasubag Pembinaan Kejari Purwodadi. Saat mendatangi kantor kejaksaan, M Yaeni terlihat masih lemah dan nampak pucat.
"Kondisi kesehatan yang bersangkutan memang belum pulih, setelah beberapa hari dirawat di RS Telogorejo Semarang. 
Bahkan kaki kanannya tampak bengkak, karena sakit jantung yang dideritanya belum sembuh total," kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Purwodadi, Lydia Dewi SH, didampingi Kasi Pidsus Budi Santoso SH, dan Kasubag Pembinaan Agus Sunaryo SH, usai memeriksa tersangka.
Dalam pemeriksaan tersebut, sebanyak 23 pertanyaan diajukan penyidik kepada M Yaeni.
Namun semua pertanyaan belum menyentuh tentang materi pokok perkara. "Pertanyaan yang diajukan penyidik baru seputar tugas dan kewenangan Ketua DPRD. Masalah materi pokok perkara akan kita tanyakan pada pemeriksaan minggu depan," ungkap Kajari.
Ditambahkan Lydia Dewi, penetapan M Yaeni sebagai tersangka, didasarkan atas beberapa barang bukti dan keterangan beberapa saksi.
Dari audit investigasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jateng diperoleh hasil, selama Tiga tahun anggaran (2006, 2007 dan 2008), ditemukan kerugian negara sebesar Rp 1,9 miliar.
"Rinciannya, kerugian Tahun 2006 sekitar Rp 664,8 juta dari anggaran Rp 1,6 miliar, Tahun 2007 sekitar Rp 747,1 juta dari anggaran Rp 1,6 miliar, dan Tahun 2008 sekitar Rp 547,4 juta dari  anggaran Rp 1,8 miliar," imbuh Kasi Pidsus Budi Santoso.
Selain M Yaeni, pihaknya juga telah menetapkan  Sutanto (58) dan Sunarto (58), keduanya mantan Sekwan, serta Agus Supriyanto (56), Kabag Umum Setwan yang kini menjabat Sekwan.
Khusus tersangka Sutanto dan Sunarto kini sudah menjalani proses sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, sedangkan Agus Supriyanto juga sedang dalam kondisi sakit.
(Budi)

Tunggak Sewa Penghuni Rusunawa 11 Tahun
INFOKU, SEMARANG- Dinas Tata Kota dan Perumahan (DTKP) Kota kewalahan menangani persoalan tunggakan sewa penghuni rusunawa (rumah susun sederhana sewa).
Pasalnya, tunggakan tersebut berlangsung selama 11 tahun. Kepala UPTD Rumah Susun Sewa, Bima Irianto mengatakan, tunggakan tersebut terjadi di rusunawa Bandarharjo.
Sedikitnya, 90 persen dari penghuni rusunawa disana menunggak sewa sejak 1996. ''Mereka yang tinggal disana adalah korban penggusuran proyek Pelabuhan Tanjung Emas. Kami berharap mereka memberikan imbal balik positif ke Pemkot,'' ujarnya, Rabu (18/1) di sela Rapat Pansus Raperda Retribusi Jasa Usaha.
Dia mengakui, manajemen pengelolaan rusunawa ini belum tertata baik. Saat itu, Pemkot hanya berupaya bagaimana caranya mereka yang menjadi korban penggusuran ini bisa tertampung semua.
Kesepakatan hanya didasarkan pada peraturan wali kota (Perwal) dan perjanjian di atas meterai. Padahal dalam perjanjian tersebut sudah disebutkan sanksi. Jika tiga bulan berturut-turut penghuni rusunawa menunggak sewa maka mereka siap keluar.
Hanya saja, sanksi tersebut tidak kuat untuk menjadi dasar penegakkan aturan. Lain halnya, jika payung hukum yang menaunginya adalah peraturan daerah (Perda).
Bima menambahkan, tunggakan sewa ini juga terjadi di rusunawa Kaligawe. Sekitar 80 persen dari penghuni yang ada di Blok D-G ini menunggak sewa sejak 20 bulan lalu. Tiap blok itu dihuni oleh 96 keluarga.
Masa izin sewa rusunawa Klaigawe ini sudah habis sejak Desember 2011. Dia mengungkapkan, tidak sedikit kepemilikan rusunawa ini yang sudah berpindah tangan.
Menyikapi hal itu, Ketua Pansus Retribusi Jasa Usaha Ari Purbono mengapresiasi langkah Pemkot yang menampung masyarakat tidak mampu ini sebagai upaya penanggulangan kemiskinan.
Namun dia menyayangkan, upaya itu tidak diimbangi dengan sistem manajemen pengelolaan yang baik.
Dewan sendiri sudah menyampaikan bahwa persoalan rusunawa ini menjadi sorotan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK pada 2007 lalu.
''Sudah kami sampaikan sejak 2007 lalu, namun tindak lanjutnya mana. Masih nihil hingga sekarang.''
Informasi yang dihimpun Suara Merdeka, berhentinya pembayaran sewa di Rusunawa Bandarjo sudah berjalan sejak tahun 2004.
Hal tersebut disebabkan karena petugas penarik tidak lagi mendatangi satu per satu rumah penghuni. Penghuni sendiri tidak paham, penyebab petugas tidak menarik.
Partini (55), penghuni Blok A Rusunawa Bandarjo menuturkan, dia dan penghuni lainnya tidak tahu apa alasan petugas tidak lagi keliling lagi seperti dahulu.
Sebaliknya, penghuni diwajibkan membayar langsung ke Dinas Tata Kota dan Permukiman (DTKP) Kota Semarang. ”Beberapa penghuni ada yang membayar langsung ke Pemkot, namun ada juga yang enggan membayar,” tuturnya,
Sementara itu  di Rusunawa Kaligawe penghuni juga menunggak. Sofiatun (46) penguhuni blok G Rusunawa Kaligawe mengakui, meski ada petugas dari Pemkot yang keliling ke masing-masing blok, tetap saja ada sebagian warga penghuni yang menunggak sewa.
”Kami tidak bisa bila disuruh menyebutkan siapa saja yang menunggak, semua data ada di Pemkot,” jelasnya. (Joko)
 klik gambar===>baca model TABLOID